Kamis, 21 April 2016

Hujan dan Ikan Mati di Sumur


Sore di akhir Desember 2015, seperti Minggu biasanya, saya datang ke lokasi kampung pemulung. Di pinggir jalan baru yang tanahnya agak meninggi, lebih tinggi dari tanah warga, motor saya terhenti. Kali itu, saya memarkir kendaraan di tempat berbeda. Di tanah sekitar perumahan warga, beberapa lokasi tanah digenangi air dan beberapa yang lain berlumpur.

Saya membuka sepatu dan kaos kaki untuk berjalan melewati genangan air menuju rumah salah satu warga. Jika tidak, maka air bercampur sisa sampah dan plastik itu bisa-bisa membasahi kaos kaki saya dan membuatnya lembap seharian.

Di bagian depan pemukiman, yang merupakan rumah si pengumpul sekaligus tuan tanah, juga tergenang banjir. “Ada ular masuk di bawah televisinya karena banjir”, papar Kak Ira, salah satu warga yang rumahnya tepat di belakang rumah pengumpul. Di antara rumah warga yang satu dengan lainnya, yang ada hanya genangan air. Di tanah yang agak meninggi, lumpur bisa menjebak kaki-kaki mahasiswa yang datang ke sana. Tapi anak-anak kecil, senang bukan kepalang bermain-main di sekitar genangan air dan tanah berlumpur tersebut. Ketiadaan fasilitas bermain dan keterbatasan akses menikmati hiburan membuat anak-anak pemulung itu menikmati melimpahnya air dari langit yang tertahan di tanah-tanah pemukiman mereka akibat saluran drainase air yang tidak ada. Ditambah lagi sampah-sampah plastik terkumpul di sana, baik yang jadi hasil memulung para warga atau juga sampah-sampah plastik dari sisa konsumsi mereka yang dibuang sekenanya.

***

Awal April 2016, juga di akhir pekan, saya datang membawa buku cerita bilingual untuk Dila, Sita, Aan, dan beberapa teman lainnya. Saya menghentikan sepeda motor tepat di samping sumur warga. Sumur itu merupakan satu-satunya sumber air ‘bersih’ bagi warga. Sumur ‘bersih’ itu menghasilkan air kehitam-hitaman dan ikan yang berenang bebas di dalamnya, kadang juga ikan mati masih menggenang di permukaan sumur. Namun, sekotor-kotornya air di sumur itu, warga tetap mensyukuri keberadaannya. Dari air di sumur itu, mereka bisa mandi dan mencuci pakaian-pakaian mereka. Bukankah jika tidak ada pilihan lain, seburuk apa pun fasilitas yang tersedia, apatah lagi jika merupakan kebutuhan mendasar, pada akhirnya akan diterima sebagai sebuah kemewahan?

Sumber Gambar : Koleksi Pribadi

Menjelang penghujung sore, selepas belajar bersama anak-anak di bawah jembatan di belakang kampus poltek, kami kembali ke sekitar sumur. Masih ada Daeng Token dengan tiga plastik besar yang membungkus pakaian kotor yang ada di hadapannya.

“Banyaknya cucian ta’. Tidak mencari [memulung] ki’ kah hari ini?”, tanya saya memulai percakapan.
“Mencari ji juga Nak. Cuma menumpuk mi ini. Jadi harus mi dicuci”, jawabnya.


Cuciannya masih banyak. Langit mendung dan rintik air sudah mulai turun. Saya berpamitan segera, mencoba mengejar waktu agar tidak terlalu kebasahan untuk sampai kembali di rumah. Saya meninggalkan Daeng Token dan anak-anak itu di tengah genangan air yang tidak kunjung kering di atas tanah tempat tinggal mereka, juga di antara air sumur yang menghitam, yang sebentar lagi akan kembali ditumpahi air dari langit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar