Kamis, 21 April 2016

Dari Barista Ke Pendidik


Di sela-sela aktivitas kampus yang agak monoton, kerap kali saya dihinggapi keletihan dan kebosanan. Untung saja, kedua hal itu bisa sedikit diminimalisir dengan menyeduh kopi yang dijual di kantin kampus. Namun ada yang berbeda di sana. Para barista, sebutan untuk mereka yang bekerja di kedai kopi, senantiasa mengedukasi pelanggan mereka sembari menyiapkan kopi yang dipesan pelanggan tersebut. Mereka, para barista itu, mengaku menempuh pendidikan non formal selama kurang lebih setahun untuk belajar tentang seluk-beluk kopi. Hasilnya, para pelanggan akan benar-benar dilayani saat membeli kopi.

Saya misalnya, lebih disarankan untuk membeli kopi Arabica dibanding Espresso. Kandungan kafein Arabica, katanya, lebih rendah 50% dibanding Espresso. Si barista bisa menjelaskan mulai dari sejarah munculnya kopi hingga berbagai jenis kopi di belahan bumi ini. Mendapatkan edukasi semacam itu, mengingatkan saya pada cerita yang mirip di cerita pendek Dee, Filosofi Kopi.

Sebagai konsumen, ada kepuasan tersendiri dilayani sepenuh hati oleh orang-orang yang bergelut dalam profesi yang mereka sebut sebagai barista itu. Dua tiga kedai kopi pernah saya kunjungi, dan mereka hampir tidak pernah melihat diri mereka sebagaimana pembuat kopi di kampus tadi. Ada kesungguhan dan kebanggaan dengan menjalani profesinya sebagai barista, dan dengan itu ada kebahagiaan melayani para pelanggan yang butuh energi lewat kopi yang mereka racik di kantin kampus. Dari hasil kerja meraciknya, saya bisa masuk ke kelas belajar bersama mahasiswa kembali dengan sedikit terbebas dari kantuk di sore hari.

***

Suami saya, seorang apoteker, lewat tulisan dan oborolan ringan yang kami bangun, kerap kali mengedukasi saya untuk menjadi konsumen obat yang cerdas. Dari pengetahuan yang secuil itu, saya jadinya bisa sangat cerewet saat ke apotek membeli atau menukar resep obat. Apatah lagi kalau apotekernya pelit menyampaikan informasi tentang obat yang saya beli, saya bisa sampai ngedumel dalam hati. Sebagai konsumen obat, kita punya hak mendapatkan informasi yang kita butuhkan terkait obat yang akan kita konsumsi.

Pada dasarnya, dalam tugas keprofesian mereka, para apoteker memang telah ditugaskan untuk mengedukasi konsumen tentang bagaimana cara penggunaan obat yang baik dan benar. Begitu kata suami saya. Namun nyatanya, beberapa, atau banyak malah, apoteker yang kita temui di apotek hanya menyerahkan obat begitu saja. Tanpa embel-embel apa pun. Tanpa menjelaskan kapan waktunya obat tersebut dikonsumsi (apakah setelah makan atau sesudah), apakah di antara obat-obat tersebut ada yang antibiotik sehingga konsumen harus menghabiskan semua obat meskipun penyakit yang diderita sudah tidak tampak, makanan apa saja yang tidak dapat dikonsumsi bersamaan dengan penggunaan obat, dan pengetahuan lain tentang obat tersebut. Pengetahuan tentang obat-obatan yang dapat membantu para konsumen obat berganti jadi ‘kesadaran’ sebatas tugas menjual obat saja.

***

Hampir dua tahun lamanya, saya hidup dengan seorang calon pustakawan. Dia adalah tetangga kamar saya. Seorang gadis belia yang mengambil kuliah di jurusan perpustakaan. Di waktu senggangnya, dia bolak-balik ke perpustakaan umum daerah untuk membaca apa saja. Kepadanya saya bisa berdiskusi tentang buku-buku terbaru dan penulis-penulis yang kami kagumi.

Sekali waktu, saya pernah iseng meminjam buku kuliahnya. Membaca beberapa halaman membuat saya baru paham perihal banyak hal teknis yang mesti diketahui seorang pustakawan untuk mengatur buku-buku di perpustakaan. Namun lebih dari urusan teknis, rasa-rasanya, hal paling penting bagi seorang pustakawan, dia haruslah cinta membaca.

Betapa garingnya mengunjungi perpustakaan yang pustakawannya hanya duduk di depan komputer dan sesekali bergosip dengan pustakawan lainnya. Sebaliknya, betapa menyenangkannya menemukan pustakawan yang bisa memandu kita memilih buku yang paling baik saat kita meminta saran dengan menawarkan tema bacaan yang kita inginkan. Atau bahkan mampu menceritakan kelebihan dan kekurangan buku yang akan kita baca menurut pengalaman membacanya. Jika tidak salah ingat, pustakawan seperti itu saya temukan di cerita Haruki Murakami, Kafka on the Shore. Perpustakaan yang diceritakan Murakami, tidak saja memiliki pustakawan sekeren itu, bahkan ada kegiatan khusus mengelilingi perpustakaan untuk para pengunjung yang dipandu oleh pemimpin perpustakaan.

Semoga saja adik kos saya itu bisa, atau minimal, meniru model pustakawan yang digambarkan Murakami dalam ceritanya. Saya percaya, dari kegiatan dan buku-buku yang ada di dalam kamar adik kos tersebut, dia bangga dengan profesi yang akan diembannya di masa depan. Rasa-rasanya, dia pernah bilang ke saya, “Mbak, kenapa ya pustakawan di perpus-perpus pada nda asyik?”.

***

Dari barista ke pustakawan, masing-masing profesi mengemban tugas-tugas khusus untuk pelayanan. Sebagaimana setiap profesi yang baik, dia bisa jadi jalan untuk memberikan manfaat kepada masyarakat. Namun profesi yang diemban bisa juga hanya untuk memenuhi kebutuhan individu, hanya dipandang sebagai jalan untuk memungut pundi-pundi rupiah yang dinikmati diri sendiri atau keluarga. Kita sudah sering menemukan hal semacam itu. Bahkan profesi seorang pendidik sekali pun, sebagaimana dalam tulisan Bjork (2005), ‘Indonesian Education: Teachers, Schools, and Central Bereucracy’, bahwa para tenaga pendidik di Indonesia cenderung lebih mengutamakan peran mereka sebagai pegawai ketimbang sebagai pendidik. Nah kan!

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 20 April 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar