Jumat, 11 Maret 2016

Mabbeda’ Pica


Perempuan, katanya, adalah lambang dari keindahan yang hakiki. Umumnya di setiap zaman, perempuan senantiasa memberikan tindakan preventif pada tiap bagian tubuh mereka. Mulai dari tindakan merawat hingga mengantisipasi hal-hal yang dapat mengganggu keindahan ujung kaki hingga ujung rambutnya.

Tindakan merawat tubuh oleh perempuan, pun senantiasa bergerak dalam putaran masa, beriring kebutuhan-kebutuhan perempuan itu sendiri. Yang sulit dihindari, kebutuhan-kebutuhan yang ada kerap kali tergantikan oleh keinginan-keinginan belaka. Hal ini berujung pada asimilasi diri perempuan dari lingkungan tempatnya hidup dan berasal.

Mabbedda’ pica, satu contoh kegiatan merawat dan mempercantik diri yang dilakukan oleh banyak orang tua perempuan kita di mayoritas daerah di Sulawesi Selatan. Mabbedda’ pica adalah kegiatan mengoleskan bedak tradisional yang disebut bedda’ pica pada bagian-bagian tubuh yang diinginkan. Bedda’ pica berasal dari hasil tumbukan kunyit dan beras, dua bahan utama yang didapatkan dengan menanam sendiri bakal kunyit dan beras, masing-masing di tanah pekarangan dan di sawah si empunya. Komposisinya dapat ditambah dengan daun-daunan yang jenisnya berbeda-beda, menyesuaikan tanaman khas masing-masing daerah. Teman saya yang berasal dari Barru, menambahkan Daun Mangkokan dalam gabungan dua komposisi utama bedda’ pica untuk membuat kulit yang diolesi semakin lembut.

Di Sidrap, tempat kelahiran sekaligus tempat saya bertumbuh hingga remaja, saya mengingat aktivitas mabbedda’ pica kerap ditempuh oleh perempuan-perempuan yang masih lajang untuk menjaga tubuh mereka dari sentuhan langsung sinar matahari yang mengandung sinar ultra violet. Tebaran berbagai literatur di bidang Biologi menyatakan bahwa Curcumae Domesticae, nama latin dari kunyit, yang dikandung bedda’ pica, merupakan bahan alami untuk menolak bakteri (anti bacterial), dan karena itu dapat digunakan untuk meminimalisir gangguan di wajah seperti jerawat.

Selain fungsi keindahan, mabbedda’ pica diinisiasi oleh para orang tua, barangkali berangkat dari kebutuhan masyarakat itu sendiri. Penemuan bedak tradisional serupa bedda’ pica di masa lalu, boleh jadi karena mengingat letak geografis kebanyakan daerah di Sulawesi Selatan bercuaca panas. Mabbedda’ pica dapat menghasilkan perasaan sejuk di tubuh orang yang memakainya.

Oleh perempuan bersuamikan petani─profesi utama kebanyakan masyarakat di daerah yang bersangkutan, sebelum berangkat ke sawah mengantar bekal untuk sang suami atau sekadar ikut menemani bekerja, bedda’ pica tidak luput digunakan sebagai pelindung wajah menghadapi hamparan padi yang membentang dan matahari yang menantang. Saya tahu, karena orang tua perempuan saya melakukannya saat menemani orang tua laki-laki saya ke sawah. Banyak pula perempuan di daerah, pada siang hari di waktu senggang, berkumpul dan duduk-duduk di bawah rumah panggung mereka untuk sekadar mabbedda’ pica bersama para tetangga atau kerabat, sembari mendiskusikan hasil panen suami mereka atau harga ikan yang semakin mahal di pasar. Mabbedda’ pica rupanya, tidak terpisahkan dari kebutuhan dan aktivitas masyarakat pemakainya, pun lahir dari jantung kebudayaan masyarakat itu sendiri.

Namun sayangnya, kegiatan itu kian tenggelam dihantam gempuran berbagai produk kecantikan yang dilahirkan dari rahim penelitian-penelitian─yang katanya modern. Kejadian seperti inilah barangkali yang merupakan salah satu sebab mengapa Aime Cesaire ngotot mendefenisikan kebudayaan sebagai wujud dari hasil cipta suatu ras dengan menolak tipu muslihat yang dilancarkan para kapitalis dari Barat untuk menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru. Kebutuhan-kebutuhan yang berasal dari luar disuguhkan dan diiklankan dalam berbagai bentuk. Ditanamkan dan dipaksakan untuk dimiliki oleh masyarakat yang pada kenyataannya memiliki hasil produksi sendiri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Lebih jauh, wacana sejenis ini dengan komprehensif telah ditulis Edward W. Said dalam ‘Orientalisme’, buku yang menurut banyak pihak disebut sebagai buku babon dalam menjelaskan bagaimana Barat mengunggulkan dirinya sendiri dan menanamkan kebudayaannya pada masyarakat non-barat seperti para pemakai bedda’ pica.

Komoditas bedda’ pica yang merupakan hasil menumbuk, yang bahan dan prosesnya dihasilkan dari keringat dan jerih payah sendiri, digantikan dengan produk ala pabrikan, dan kita tidak mampu lagi menahan diri untuk tidak menjadi konsumen-konsumennya. Sementara itu, para kapitalis yang berada di balik layar perusahaan-perusahaan produk kecantikan dengan gagasan modernismenya, tengah tertawa atas kesuksesan mereka menggantikan bedda’ pica dengan bedak-bedak baru di atas meja rias kita. Kita perempuan, dalam berbagai cara meminta persamaan hak dan derajat, tapi dengan rela menjadikan tubuh-tubuh kita sebagai objek utama dari lakunya produk-produk para kapitalis.


Perempuan, katanya, adalah lambang dari keindahan yang hakiki. Barangkali saya sedang ngawur saja. Huh!

Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 11 Maret 2016)

1 komentar:

  1. ibu saya juga sering melakukan hal tersebut bu'. tetapi ia memakai beras dan jagung muda yang di tumbuk.dirumah saya itu disebut ba'da mokoseo (bedak dingin, mokoseo artinya dingin dlm bhs Sorowako) hehehe

    BalasHapus