Jumat, 05 Februari 2016

Saut Situmorang dan Buku Kritiknya


Sumber : Koleksi Pribadi

Barangkali setengah tahun, atau malah lebih, waktu yang saya butuhkan untuk membaca buku Saut Situmorang, ‘Politik Sastra’. Saat buku ini pertama kali sampai di kosan saya di Semarang tahun lalu, saya langsung membacanya. Semangat menggebu saat memiliki buku yang sudah lama saya incar dengan langsung membacanya, kerap kali saya alami. Namun sayangnya, semangat itu tidak berlangsung lama. Demikian halnya dengan buku Saut. Di tengah-tengah bacaan, saya mulai bosan dengan banyaknya kalimat kritik dan cacian yang dilontarkannya. Saya bahkan sempat berpikir, sepertinya Saut hidup hanya untuk mengurusi kebenciannya dengan sastrawan atau budayawan yang tergabung di Salihara dan Teater Utang Kayu.

Sampai kemudian saya menghadiri diskusi di Kafe Dialektika, Makassar (23/01/2016), yang mengusung tema ‘Solidaritas Makassar untuk Saut Situmorang’. Sepulang dari diskusi itu, saya mencari buku Saut di lemari. Dalam waktu tidak kurang sehari, sisa halaman yang belum saya tamatkan di waktu yang lalu, akhirnya tamat sudah. Ada yang berubah di pikiran saya setelah melanjutkan membacanya kembali.

Pada dasarnya, gaya menulis Saut, mengutip apa kata M. Aan Mansyur yang ditulis di Tempo (27/01/16)─Aan juga menjadi salah satu pembicara di diskusi yang diadakan di Kafe Dialektika itu, “Saut termasuk sastrawan yang gamblang dalam memaknai kata-kata”. Bagi orang-orang yang pernah membaca buku esai Saut yang baru saja saya tamatkan itu, saya pikir akan berpendapat tidak berbeda jauh dengan Aan. Lanjut Aan, “sejak kehadirannya [Saut] di jagat sastra Indonesia, telah membuat hati ketar-ketir banyak pihak, terutama mereka yang termasuk kategori sastrawan dan budayawan yang banyak melakukan perselingkuhan dengan kekuasaan. Apa yang dilakukan Saut selama ini tidak aman. Dia datang meruntuhkan hal yang sudah dianggap mapan. Ini yang membuat Saut menemui banyak masalah”.

Tindakan Saut untuk mengungkap perselingkuhan, bahkan sampai mengata-ngatai, beberapa  nama sastrawan yang dipuja-puji hingga kancah internasional, saya pikir sudah sampai tahap yang benar-benar berani─untuk tidak menyebutnya kelewat berani. Pandangan-pandangannya ‘liar’, dan tidak pakai ba-bi-bu. Saut langsung menjurus pada persoalan.

Apa yang ditulisnya, di beberapa halaman terakhir, juga membuktikan bahwa Saut tidak sedang dalam rangka membela kelompoknya, sastrawan yang tergabung di cybersastra, tapi Saut sedang membela kelompok sastrawan yang karyanya dianggap ‘remah-remah’ namun sebenarnya punya kualitas yang tidak kalah, bahkan jauh lebih baik dibanding karya mereka yang sudah terlanjur dianggap hebat. Salah satu pembelaannya, misalnya, kenapa pada umumnya penilaian suatu karya sastra di Indonesia yang dianggap artistik dan bermutu, selalu yang menyentuh sastrawangi? Kenapa yang disebut karya bermutu kebanyakan yang mengeksploitasi seks, yang ditulis oleh juga perempuan “cantik”, muda dan “buka-bukaan”? Bagaimana, misalnya, dengan fiksi para pengarang Forum Lingkar Pena yang berjilbab itu? Jadi apa sebenarnya yang jadi ukuran untuk menilai karya sastra? Siapa yang menentukan standar-standar ini?

Rentetan pertanyaan itu, dijawab Saut dalam bukunya. Tidak hanya soal politik sastra, Saut juga membahas tentang rendahnya kualitas kritik sastra di Indonesia, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh kritikus Belanda, A Teeuw. Kritik sastra yang ada di negeri ini, bagi Saut, tampak seperti tulisan resensi belaka.

Menurut Saut, selain persoalan isi, bentuk kalimat, dan hal-hal yang terkait dengan esetetika tulisan, ada yang lebih penting dibahas dalam sebuah karya fiksi oleh seorang kritikus. Saut, sepaham dengan Katrin Bandel─kritikus yang tidak lain adalah istri Saut sendiri, menganggap bahwa kritik sastra juga harus menyentuh wilayah kedalaman dari sebuah karya. Dalam bukunya, ‘Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas’, Katrin Bandel menulis bahwa karya sastra dapat berangkat dari cerita non-fiksi berupa ilmu sains, sejarah, kebudayaan, bahkan luruh dalam ideologi penulis karya itu sendiri. Wilayah-wilayah tersebutlah yang seharusnya juga ada dalam catatan kritis seseorang yang mendaku kritikus sastra.

Apa dan kenapa Eka Kurniawan, bisa menulis cerita tentang makhluk supranatural? Konteks negara di mana Eka tumbuh menjadi penulis, tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat akan adanya kekuatan-kekuatan supranatural seperti di novel ‘Lelaki Harimau’-nya itu. Pada masyarakat Bugis, misalnya, banyak orang percaya bahwa calon bayi yang berada di dalam rahim seorang perempuan, yang tiba-tiba saja menghilang sebelum dilahirkan, kelak akan lahir sebagai seekor buaya. Kejadian dan kepercayaan seperti ini, hidup dalam novel Eka Kurniawan. Seorang kritikus berusaha memahami hal-hal demikian. Mengapa sebuah karya sastra bisa hadir dengan jalan cerita dan tokoh-tokoh yang dipilihnya. Bacaan-bacaan apa yang dibaca penulis dan kekuasaan macam apa yang menentukan jenis bacaan yang mampu dijangkau penulis, pun bisa jadi bahan analisis bagi seorang kritikus sastra.

Kalau Saut Situmorang mampu menulis berbagai pandangan dan sikapnya tentang penulis-penulis dan tulisan-tulisan mereka yang tidak disenanginya, Eka Kurniawan, sependek pengetahuan saya, punya pandangan lain soal ini. Dalam jurnalnya, Eka menulis bahwa kebanyakan dari kita terlalu banyak berantemnya, dan itu kontraproduktif. “Sebenarnya begini, bagi saya simple aja. Kalau tidak suka dengan novel-novel yang kita tidak suka ya nggak usah dibaca. Kalau kita punya standar estetika sendiri, ya kita tawarkan. Misalnya saya sendiri banyak tidak suka dengan beberapa genre dalam sastra, misalnya novel-novel populer tidak terlalu menarik bagi saya. Tapi daripada saya berdebat dan kemudian kita ngomong novel seperti itu harus dilarang karena tidak mendidik dan sebagainya, itu malah kontraproduktif.”


Tentang keberanian bersuara, kita tidak dapat meremehkan apa yang dilakukan oleh Saut. Tidak banyak sastrawan yang barangkali mau menanggung keonsekuensi tindakan melawan komunitas sastra yang sudah ‘besar’ di negeri ini. Namun dalam banyak hal, saya selalu suka dan akhirnya bersepakat dengan Eka Kurniawan. Termasuk tindakannya, seperti apa yang dia tulis, “Bagi saya lebih [baik] kita cari novel yang kita suka dan kita menulis novel yang kita maui, itu malah produktif.” Tapi bisa jadi, menulis esai kritis tentang ‘Politik Sastra’, itu juga sudah jalan produktif bagi Saut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar