Rabu, 03 Februari 2016

Ingatkah Ketika Kita Berdoa Untuk Sesuatu yang Terwujud Hari Ini?


“Kadang-kadang, hal yang terwujud hari ini, [t]nampak sebagai hal yang biasa saja sehingga kita lupa untuk bersyukur.” (Kalis Mardiasih)

Saya mengingat-ingat apa yang saya rasakan dulu saat duduk di bangku kuliah, mendengarkan dosen memberikan ceramah kuliahnya. Kerap kali, dosen menjelaskan sesuatu yang menurut saya “duh, ini ‘kan ajaran Keynesian”, atau “ya ampun, positivistik dan materialistis an sih banget doktrinnya”. Dalam lingkar pengetahuan dan disiplin akuntansi konvensional, sebagai bagian dari pengetahuan ekonomi konvensional, doktrin yang bersumber dari kapitalisme dan disokong oleh pandangan hidup yang materialistis, begitu kental adanya. Pada materi tentang obligasi atau utang jangka panjang lainnya, misalnya. Kita akan diajarkan di pelajaran yang ada di mata kuliah (biasanya) Akuntansi Madya atau lebih dikenal dengan Intermediate Accounting itu, bagaimana cara menghitung nilai utang masa kini dan masa depan. Ya tidak bisa tidak, kita akan berhadapan dengan yang namanya bunga. Pendapatan dari nilai atas uang. Uang sebagai komoditas, bukan lagi sebagai alat tukar. Saat itu, kita bisa saja lupa, bahwa yang benarnya adalah penghasilan selalu merupakan hasil dari kerja. Tidak ada penghasilan tanpa kerja. Tapi buku-buku teks tidak membahas itu. Buku teks akan memandu kita untuk menghitung “jadi berapa keuntungan dari mengeluarkan surat utang ini dan itu dengan menggunakan nilai nominal sekian dan sekian?”

Itu baru satu contoh. Di mata kuliah lain yang bahkan tidak ada sangkut pautnya dengan hitung-hitungan, doktrin materialisme tetap saja berkibar-kibar lewat buku-buku kuliah para mahasiswa. Mata kuliah ‘Corporate Governance’, misalnya. Di permukaan sih iya, tata kelola yang baik akan mensejahterahkan semua pihak yang berkepentingan dengan perusahaan. Tapi kalau dikaji lebih dalam lagi, ujung-ujungnya, yang mendapatkan keuntungan terbesar dari adanya tata kelola perusahaan yang baik adalah para pemegang saham. Segelintir manusia bermodal besar yang tinggal ongkang-ongkang kaki dan sekali buka gadget bisa lihat pendapatan deviden mereka dari kerja-kerja buruh yang memeras keringat nun jauh di pabrik sana.

Kalau sudah begitu, saya diam-diam berdoa, sambil menatap dosen, “Ya Allah, beri saya kesempatan biar besok-besok bisa mengajarkan sesuatu yang benar, yang tidak menindas, yang bermanfaat untuk orang-orang papa di sekitar.” Atau paling sederhana, “Ya Allah, semoga saya jadi dosen yang mencerahkan.” Kalau dipikir-pikir, ada sedikit keangkuhan di sana. Merasa lebih baik daripada dosen yang sedang mengajar pada waktu itu. Tapi, semata-mata doa itu ada untuk sesuatu yang diyakini benar. Jangan sampai, secara tidak sadar, jadi dosen yang mendukung doktrin kapitalisme dan materialisme nantinya. Walya’udzubillah.

Baru berbilang dua tahun setelah doa itu dipanjatkan, Tuhan dengan Maha Baik-Nya, memberi kesempatan untuk berdiri di depan para mahasiswa mengenalkan akuntansi dari sisi yang berbeda. Kini, saya sangat bahagia bisa melakukan hal-hal yang pernah saya minta kepada Tuhan secara diam-diam itu. Tapi ada yang mengganggu saya untuk pertanyaan yang senada. Apakah dalam semua hal yang sudah jadi nyata hari ini, saya sudah benar-benar bersyukur?

Apakah saya sudah bersyukur atas laki-laki yang Tuhan datangkan jadi teman hidup?
Apakah saya sudah bersyukur untuk penjagaan yang saya pinta lewat ikatan suci pernikahan?

Setengah tahun sudah. Semoga tidak pernah menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja.
Selamat tanggal 3,


Yours

Tidak ada komentar:

Posting Komentar