Senin, 22 Februari 2016

Dila dan Pakaian Intelektual


Siang setelah saya makan di kantin bersama sahabat, saya melewati lorong-lorong fakultas dan menemukan dua orang yang akrab di mata saya. Mencoba memastikan, saya mendekatinya. “Dila…!”, teriak saya. Tadi malam, kami baru saja bertemu. Malam saat adzan Isya berkumandang, saya meninggalkan kampung pemulung dengan teriakan dari Dila, “daaaadah Kakak Andiiiiis”, yang saya yakin satu kampung pemulung mendengar teriakannya. Selalu ada bahagia yang saya bawa pulang setelah menjenguk mereka, sebab mereka senantiasa mencintai saya dan saya pun mencintai mereka dengan cara sederhana yang merek ajarkan kepada saya.

Sumber : Kolekasi Pribadi/Dila Dalam Pelukan

Kembali ke siang tadi, setelah pertemuan yang belum cukup 24 jam, Dila agak malu-malu berbicara dengan saya, padahal semalam dia masih merajuk manja kepada saya. Spradley, seorang etnografer, pernah menulis bahwa kondisi antara partisipan dengan seorang etnografer menentukan sejauh mana kedekatan yang dapat terjadi antara keduanya. Lingkungan kampus tempat kami bertemu saat itu dengan lingkungan rumah Dila di mana biasa kami bertemu, adalah dua lingkungan yang kontras, mungkin begitu yang dimaksud Spradley. Saya tengah berada di kampus sebagai bagian dari penghuni kampus, meskipun sudah berstatus alumni, tapi saya tetap menenteng buku-buku dengan pakaian yang meskipun tidak rapi-rapi amat, tetap saja kontras dengan pakaian Dila. Itu semua mempertebal perbedaan di antara kami, dan membuat Dila sungkan berbicara dengan saya. Lagi-lagi, setelah bertemu dengan Dila, saya kembali merenung. Sejauh inikah pendidikan telah memisahkan saya dengan orang-orang papa dan tertindas, yang untuk merekalah seharusnya pengetahuan itu diusahakan? Untuk orang-orang yang tidak sempat dan tidak berkesempatan menikmati fasilitas pengetahuan yang saya nikmati hingga saat ini?

Saya melihat Dila tengah menenteng kantongan plastik kecil, yang di dalamnya ada beberapa bungkus gorengan. Saya bertanya, “tawwa Dila ada gorengannya, beli di mana?”. Dila tertunduk sambil berbisik, “kudapat tadi Kak”. Haduh, ya Allah. Dapat di mana? Di tong sampah kah Dek? Saya tidak melanjutkan pertanyaan itu sebab takut Dila semakin merasa berbeda dengan saya. Haduh ya Allah, saya baru saja minum jus buah di kantin, dan beberapa saat sebelumnya saya menarik uang di atm dengan perasaan yang saya-mesti-lebih-hemat-lagi-nih melihat nominal tabungan yang kian menepis. Di tengah-tengah perasaan yang sempat merasa kurang padahal masih bisa makan dengan uang sendiri, saya menemukan Dila yang mendapatkan makanan dari sisa-sisa mahasiswa. Duh ya Allah, apalah saya ini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar