Minggu, 17 Januari 2016

Origami, Suci, dan Bahagia yang Sederhana


Sejak bertahun-tahun lalu, saya selalu suka melihat hasil-hasil kriya atau kerajinan tangan. Apa pun itu. Terselip rasa kagum untuk usaha mencipta sendiri dan menolak untuk membeli. Membuat karya sambil belajar, juga menahan hasrat berlebih untuk berbelanja benda-benda sederhana yang nyatanya bisa dikerjakan sendiri.

Salah satu seni kerajinan itu adalah seni melipat kertas, atau kita sering menyebutnya origami. Seni kerajinan dari Jepang ini, bagi saya, memikat untuk dilakukan. Hanya butuh kertas dan gunting. Praktis dilakukan dan tidak perlu menambah-nambah beban pikiran untuk pengerjaannya.

Waktu kuliah di Semarang, saya membawa berbungkus-bungkus kertas origami dari Makassar. Bukannya dibuat kerajinan, kertas itu saya tulisi lalu tempel di dinding-dinding hingga hampir semua dinding kamar kos penuh dengan tempelan kertas origami. Isinya macam-macam. Ada kata-kata dari penulis favorit, ada rencana-rencana yang harus saya kerjakan─biasanya saya tempel di dekat pintu agar lebih mudah dibaca, ada nama-nama orang yang ketika saya ingat akan membuat saya malu malas belajar, ada juga beberapa hafalan seperti urutan-urutan nomor PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) yang harus saya hafalkan, ada juga beberapa isi terjemahan Al-Quran yang jadi favorit saya untuk mengingatkan diri sendiri, dan ada juga yang isinya puisi-puisi saya. Begitulah dinding kamar kos saya berubah jadi semacam coretan-coretan pribadi. Kebiasaan membuat dinding kamar penuh tulisan mulai terjadi sejak saya masih kuliah S1 di Makassar.

Sumber : Koleksi Pribadi/ Kamar Kos di Semarang

Walhasil, kertas origami tidak pernah saya fungsikan sebagaimana mestinya. Meski sebenarnya saya ingin juga memasang boneka-boneka kerta hasil origami di kamar. Kesibukan menjadi alasan bagi saya untuk tidak pernah sempat belajar membuat kerajinan dari kertas tersebut.

Namun, saat ini, saat saya kesulitan mengobati kejenuhan dengan buku-buku yang menumpuk untuk dibaca dan tugas-tugas administratif dari kampus untuk diselesaikan, saya mencoba belajar membuat origami. Belajar origami saya pilih karena pilihan-pilihan lain seperti jalan-jalan atau menonton bukan alternatif yang buat saya akan merasa lebih baik. Pilihan ke toko buku juga tidak saya pilih karena persediaan buku yang belum terbaca masih banyak.

Hasilnya tidak begitu buruk. Sekitar setengah jam belajar melipat dengan batuan video tutorial, sudah jadilah satu bentuk. Saya cukup puas bisa berkarya dan punya keterampilan baru.

Sumber : Koleksi Pribadi/ Hasil Belajar Pertama


Esoknya, saat tengah mencuci motor di depan rumah, seperti pekan sebelumnya, anak-anak tetangga bermain-main di depan rumah. Sembari mencuci motor, saya mengajak mereka mengobrol. Saya terpikir untuk mengajak mereka main. Akhirnya, teringat masih ada sisa kertas origami di kamar, mereka saya ajak saja belajar melipat kertas.

Ada satu anak di antara mereka, yang membuat saya kagum padanya. Namanya Suci. Ngomong-ngomong saya mudah kagum ya?

Sebenarnya kekaguman saya bukan tanpa alasan. Biasanya saya mengagumi seseorang yang kadang berhak membalas dendam tapi lebih memilih memaafkan. Saya mudah kagum pada seseorang yang berhak marah tapi lebih memilih mengerti dan membalas dengan senyuman. Saya mudah kagum pada seseorang yang godaan untuk hidup mewah melingkupinya, tapi lebih memilih hidup sederhana. Saya mudah kagum pada seseorang yang sebenarnya bisa dimaklumi kalau dia hidupnya murung tapi memilih bahagia. Saya mudah kagum pada seseorang yang sebenarnya punya peluang besar menikmati hidup dengan prestise tapi lebih memilih bekhidmat untuk pekerjaan yang bagi banyak orang mungkin ‘cemen’ dan ‘seupil’ tapi nyatanya bermanfaat banyak bagi sesama. Sederhananya, ada dua jenis manusia yang membuat saya kagum. Pertama, manusia yang memilih bertindak positif padahal dia termaklumi untuk bertindak negatif. Kedua, manusia yang mengubur dalam-dalam keinginan pribadinya lalu memilih merelakan hidupnya berbagi untuk sesama. Kira-kira begitu, dan saya belajar banyak dari orang-orang seperti itu.

Nah, Suci ada di antara salah satu jenis manusia yang saya kagumi itu. Sejak kecil, menurut cerita ibu, dia hidup tanpa ibu dan ayah dan memang tidak pernah mengenal keduanya, hingga sekarang dia duduk di kelas 1 SD. Suci diangkat dan diasuh sebagai anak oleh tetangga saya yang semoga Tuhan merahmatinya. Meski begitu, setiap hari Suci bermain-main di depan rumah seperti anak-anak lainnya. Dia melewati hari-harinya tidak dengan mengutuk kehidupan. Dia terus hidup, dan membuat saya menyimpan kagum atas kedewasaannya.

Sumber : Koleksi Pribadi/ Anak-anak Tetangga dan Hasil Belajar Mereka


Bahagia itu sederhana, dari kertas origami yang dilipat dan jadilah tiga ekor kupu-kupu. Bahagia itu sederhana, sesederhana Suci tersenyum di hadapan saya pagi itu. Akhirnya, sampai jumpa di kelas origami berikutnya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar