Sejak
bertahun-tahun lalu, saya selalu suka melihat hasil-hasil kriya atau kerajinan
tangan. Apa pun itu. Terselip rasa kagum untuk usaha mencipta sendiri dan
menolak untuk membeli. Membuat karya sambil belajar, juga menahan hasrat
berlebih untuk berbelanja benda-benda sederhana yang nyatanya bisa dikerjakan
sendiri.
Salah
satu seni kerajinan itu adalah seni melipat kertas, atau kita sering
menyebutnya origami. Seni kerajinan dari Jepang ini, bagi saya, memikat untuk
dilakukan. Hanya butuh kertas dan gunting. Praktis dilakukan dan tidak perlu
menambah-nambah beban pikiran untuk pengerjaannya.
Waktu
kuliah di Semarang, saya membawa berbungkus-bungkus kertas origami dari
Makassar. Bukannya dibuat kerajinan, kertas itu saya tulisi lalu tempel di
dinding-dinding hingga hampir semua dinding kamar kos penuh dengan tempelan
kertas origami. Isinya macam-macam. Ada kata-kata dari penulis favorit, ada
rencana-rencana yang harus saya kerjakan─biasanya saya tempel di dekat pintu
agar lebih mudah dibaca, ada nama-nama orang yang ketika saya ingat akan
membuat saya malu malas belajar, ada juga beberapa hafalan seperti
urutan-urutan nomor PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) yang harus
saya hafalkan, ada juga beberapa isi terjemahan Al-Quran yang jadi favorit saya
untuk mengingatkan diri sendiri, dan ada juga yang isinya puisi-puisi saya.
Begitulah dinding kamar kos saya berubah jadi semacam coretan-coretan pribadi. Kebiasaan
membuat dinding kamar penuh tulisan mulai terjadi sejak saya masih kuliah S1 di
Makassar.
Sumber : Koleksi Pribadi/ Kamar Kos di Semarang |
Walhasil,
kertas origami tidak pernah saya fungsikan sebagaimana mestinya. Meski sebenarnya
saya ingin juga memasang boneka-boneka kerta hasil origami di kamar. Kesibukan
menjadi alasan bagi saya untuk tidak pernah sempat belajar membuat kerajinan
dari kertas tersebut.
Namun,
saat ini, saat saya kesulitan mengobati kejenuhan dengan buku-buku yang
menumpuk untuk dibaca dan tugas-tugas administratif dari kampus untuk
diselesaikan, saya mencoba belajar membuat origami. Belajar origami saya pilih karena
pilihan-pilihan lain seperti jalan-jalan atau menonton bukan alternatif yang
buat saya akan merasa lebih baik. Pilihan ke toko buku juga tidak saya pilih
karena persediaan buku yang belum terbaca masih banyak.
Hasilnya
tidak begitu buruk. Sekitar setengah jam belajar melipat dengan batuan video tutorial,
sudah jadilah satu bentuk. Saya cukup puas bisa berkarya dan punya keterampilan
baru.
Sumber : Koleksi Pribadi/ Hasil Belajar Pertama |
Esoknya,
saat tengah mencuci motor di depan rumah, seperti pekan sebelumnya, anak-anak
tetangga bermain-main di depan rumah. Sembari mencuci motor, saya mengajak
mereka mengobrol. Saya terpikir untuk mengajak mereka main. Akhirnya, teringat
masih ada sisa kertas origami di kamar, mereka saya ajak saja belajar melipat
kertas.
Ada
satu anak di antara mereka, yang membuat saya kagum padanya. Namanya Suci.
Ngomong-ngomong saya mudah kagum ya?
Sebenarnya
kekaguman saya bukan tanpa alasan. Biasanya saya mengagumi seseorang yang
kadang berhak membalas dendam tapi lebih memilih memaafkan. Saya mudah kagum
pada seseorang yang berhak marah tapi lebih memilih mengerti dan membalas
dengan senyuman. Saya mudah kagum pada seseorang yang godaan untuk hidup mewah
melingkupinya, tapi lebih memilih hidup sederhana. Saya mudah kagum pada
seseorang yang sebenarnya bisa dimaklumi kalau dia hidupnya murung tapi memilih
bahagia. Saya mudah kagum pada seseorang yang sebenarnya punya peluang besar
menikmati hidup dengan prestise tapi lebih memilih bekhidmat untuk pekerjaan
yang bagi banyak orang mungkin ‘cemen’ dan ‘seupil’ tapi nyatanya bermanfaat
banyak bagi sesama. Sederhananya, ada dua jenis manusia yang membuat saya
kagum. Pertama, manusia yang memilih bertindak positif padahal dia termaklumi
untuk bertindak negatif. Kedua, manusia yang mengubur dalam-dalam keinginan
pribadinya lalu memilih merelakan hidupnya berbagi untuk sesama. Kira-kira
begitu, dan saya belajar banyak dari orang-orang seperti itu.
Nah,
Suci ada di antara salah satu jenis manusia yang saya kagumi itu. Sejak kecil,
menurut cerita ibu, dia hidup tanpa ibu dan ayah dan memang tidak pernah mengenal
keduanya, hingga sekarang dia duduk di kelas 1 SD. Suci diangkat dan diasuh sebagai
anak oleh tetangga saya yang semoga Tuhan merahmatinya. Meski begitu, setiap
hari Suci bermain-main di depan rumah seperti anak-anak lainnya. Dia melewati
hari-harinya tidak dengan mengutuk kehidupan. Dia terus hidup, dan membuat saya
menyimpan kagum atas kedewasaannya.
Sumber : Koleksi Pribadi/ Anak-anak Tetangga dan Hasil Belajar Mereka |
Bahagia
itu sederhana, dari kertas origami yang dilipat dan jadilah tiga ekor
kupu-kupu. Bahagia itu sederhana, sesederhana Suci tersenyum di hadapan saya
pagi itu. Akhirnya, sampai jumpa di kelas origami berikutnya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar