Minggu, 24 Januari 2016

Langkah-langkah Kecil Perlawanan


Edmund Dene Morel adalah seorang pekerja di perusahaan Elder Dempster milik Raja Leopald II Belgia yang menguasai luas wilayah Kongo. Luas negeri ini sama dengan semua negara di daratan Eropa Barat, dan atas semua kekayaan alam yang dihasilkan dari negeri ini, Raja Leopald lah yang menerima keuntungan luar biasa tersebut. Morel kemudian melihat ada yang salah dengan sistem kerja yang dilakukan Raja Leopald. Di tempatnya bekerja, Morel melihat pelecehan, pemukulan, hingga pembunuhan. “Cukup hanya dengan melihat bagaimana para buruh melakukan kerja paksa, dalam keadaan yang sangat mengenaskan dan nyaris tanpa istirahat, sudah menjelaskan jenis keuntungan macam apa yang diperoleh dari sana…” Demikian pengakuannya melihat kelakuan sang majikan atas pekerja warga Kongo.

Bukan hal yang mudah untuk melawan majikan, apatahlagi seorang raja penguasa. Tapi Morel menolak untuk tetap diam. Morel tidak tergoda dengan segala macam suap yang dilancarkan oleh sang Raja.

Sekali lagi bukan hal yang mudah melawan Raja Leopald bersama para pengikut butanya. Apatahlagi bagi seorang Morel yang hanya seorang pekerja di perusahaan raksasa milik Sang Raja. Berbagai tipu daya dilakukan oleh pengikut raja untuk melawan pengungkapan yang dilakukan Morel, hingga khalayak dibuat bingung dan akhirnya meragukan pengakuan Morel. Tapi Morel tidak berhenti bekerja keras, begitu tulis Steve Crawshaw & John Jackson dalam ‘Tindakan-tindakan Kecil Perlawanan’.

Tidak kehabisan akal, Morel mengambil sebuah Kodak. Secara sembunyi-sembunyi Morel memotret pembunuhan berkedok kerja yang dilakukan Raja Leopold. Sebuah benda yang menghasilkan gambar yang tidak dapat mengatakan satu kata pun, tapi menghantam habis Raja beserta pengikutnya. Terbeberkanlah tindak penindasan Raja Leopold.

Tahun 1924, Morel akhirnya meninggal. Kongo yang kini bernama Republik Demokratik Kongo tersebut masih dalam konflik yang belum juga usai. Sumber daya alamnya yang melimpah seperti gading gajah, karet dan hasil-hasil hutan lainnya, masih juga diperebutkan. Keserakahan itu masih ada, tapi tindakan teguh Morel untuk melawan bukan berarti tidak punya arti. Tidak serta merta upaya Morel di masa lalu menjadi sia-sia. Justru, tindakannya jadi mercusuar bagi orang-orang Kongo untuk melawan kedzaliman. Hingga Bertrand Russell menyebut Morel dengan kata-kata, ‘Tidak ada orang lain seperti dia yang saya tahu yang memiliki kepahlawanan sederhana dalam memahami dan menyatakan suatu kebenaran politik”.

***

Salah seorang warga pemulung yang saya dampingi, sedang terkena kasus pinjam-meminjam dengan seorang rentenir. Dana 10 juta rupiah dipinjam dalam masa dua bulan, dengan bunga tiap bulan 1,5 juta rupiah. Bunga 3 juta telah dibayarkan, namun pokok sama sekali belum tersentuh. Akhirnya, masa dua bulan berakhir dan si peminjam harus membayar denda 100 ribu setiap harinya.

Di kampung pemulung, adalah hal yang lumrah bagi warga untuk meminjam dana dalam keadaan terdesak. Apatahlagi sejak plastik-plastik yang dikumpulkan hanya dihargai seribu rupiah per kilonya saja. Bukan sekali dua kali, warga meminjam dengan nominal besar dan beberapa teman pegiat juga sudah pernah berupaya menawarkan solusi berupa bank sampah. Namun apa boleh dikata, sistem koperasi bank sampah tidak berjalan baik. Salah seorang pegiat malah harus kehilangan dana tidak kurang 3 juta rupiah untuk menutupi kekurangan dana.

Tapi kegagalan masa lalu tidak boleh membenarkan terjadinya kedzaliman terus menerus. Hutang-piutang warga yang sedang terkena kasus harus segera diselesaikan. Jika tidak, setiap hari, keluarga warga yang sedang mengutang ini, dengan terpaksa harus mengencangkan ikat pinggangnya untuk mencari plastik-plastik bekas setiap hari demi menghasilkan uang 100 ribu rupiah guna membayar denda kepada sang rentenir.

Mahasiswa-mahasiswa saya di dua kelas akuntansi yang saya asuh, tergerak lalu ikut terlibat. Membuat origami lalu menjualnya; mengumpulkan pakaian bekas, kertas bekas, dan botol bekas lalu menimbangnya; membuat kue lalu menjualnya; dan berbagai aksi pencarian dana lainnya dilakukan. Setelah itu, mereka beramai-ramai menjenguk si keluarga warga yang terkena kasus, menyerahkan bantuan dana untuk membayar hutang yang mendesak. Sembari itu mereka belajar apa definisi liabilitas dari mereka yang dijerat kasus utang dan dalam keadaan tercekik untuk mengumpulkan dana melunasinya. Belajar dengan sistem “hadap masalah” ala Freire.

Bantuan yang mereka lakukan tidak banyak jika dibandingkan dengan total yang harus dilunasi. Hanya menutupi kekurangan dari beberapa donatur yang saya dan teman pegiat lain kumpulkan. Tapi tindakan-tindakan kecil mereka, membuat saya belajar banyak. Bahwa semangat melawan kedzaliman oleh pengusaha yang mendapat keuntungan dari orang-orang papa, tidak boleh surut. Benarlah, ketika mengajar, ada kesadaran bahwa diri sendiri harus terus belajar.

Apa yang sudah saya, teman saya yang ikut mendampingi kasus ini, mahasiswa-mahasiswa saya, dan juga para donatur lakukan untuk membantu keluarga tersebut, yang akhirnya dapat terlepas dari cekikan rentenir, barangkali hanya menutup satu kasus. Di kemudian hari, si rentenir bisa saja menjerat leher-leher yang lain. Tapi, tidak lantas menjadi sia-sia segala upaya itu. Justru, tindakan-tindakan kecil perlawanan ini menjadi sumbu bagi api untuk terus menyalakan bara dan semangat perlawanan atas keserakahan. Sebagaimana Morel tidak pernah menyesal atas sikapnya yang keras kepala melawan Raja Leopald, bahkan jika pun di negara yang sama, warisan keserakahan Raja Leopald masih ada hingga kini.

Mengutip kata kawan saya di suatu waktu di masa lalu, kita akan melakukan perubahan, sekecil apa pun perubahan itu. Dan kita akan melakukan apa pun yang bisa kita lakukan untuk perubahan itu.


RubrikLiterasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 22 Januari 2016)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar