Jumat, 08 Januari 2016

Dia Bukan yang Pertama, tapi Dialah yang Menggenapkannya


Siapa pun yang pernah mengenyam pelajaran pendidikan agama Islam sewaktu sekolah dasar, kemungkinan besar tahu, bahwa manusia pertama yang percaya kepada agama baru yang dibawa oleh lelaki bernama Muhammad, adalah Khadijah. Kita tahu bahwa Khadijah adalah istri pertama Muhammad, dan disebut-sebut sebagai cinta sejatinya. Dia adalah perempuan yang tidak pernah diduakan Muhammad dalam mahligai pernikahannya. Muhammad baru melakukan praktik poligami setelah Khadijah meninggal, dan itu pun dilakukan Muhammad untuk kepentingan politik penyebaran dakwahnya. Selain keistimewaan itu, Khadijah juga adalah satu-satunya perempuan di sisi Muhammad yang mampu memberikan keturunan. Dari rahimnyalah kita mengenal pula syahidah tangguh bernama Fathimah az-Zahra, di samping Zainab, Ruqayyah, dan Ummu Kultsum.

Beberapa hari di kampung halaman menjenguk keluarga sekaligus mengurusi surat keperluan pindah domisili untuk membuat kartu keluarga baru bersama suami, saya menggunakan sela-sela waktu senggang untuk membaca buku ‘Khadijah : Teladan Agung Wanita Mukminah’. Ini adalah buku kedua yang saya baca, yang isinya tentang hidup Khadijah. Buku pertama yang pernah saya baca ditulis oleh Sibel Eraslan, dikemas dalam bentuk novel. Kali ini, saya membaca karya Ibrahim Muhammad Hasan Al-Jamal yang dikemas dalam bentuk non-fiksi.

Sebenarnya, sudah ada beberapa buku lain yang saya baca tentang Khadijah. Namun biasanya, kisah yang ada disandingkan dengan kisah suaminya, atau putri-putrinya, atau kisah Khadijah bersama istri-istri Muhammad yang lain sebagai Ummahatul Mukminin. Keunggulan membaca satu buku yang khusus membahas sisi hidup wanita mulia ini adalah penuturan kehidupan dan pribadi Khadijah yang lebih komprehensif, sehingga ada saja teladan dan inspirasi baru yang bisa dipetik.

Dari buku Ibrahim Muhammad Hasan Al-Jamal ini, saya baru tahu kalau ternyata Khadijah bukan perempuan pertama yang dipinang Muhammad. Sebelumnya, Muhammad pernah memberanikan diri meminang anak pamannya, Abu Thalib, yang berarti saudara perempuan Ali bin Abu Thalib, dan berarti lagi sepupunya sendiri. Namanya Fakhitah. Usianya sedikit lebih muda dari Muhammad.

Abu Thalib hanya bisa diam mendengar keinginan Muhammad untuk meminang putrinya. Tidak lama setelah lamaran Muhammad, datang pemuda lain bernama Hubairah bin Abi Wahab bin Umar melamar Fakhitah. Lantas Abu Thalib menyetujuinya. Lalu bertanyalah Muhammad padanya, “pamanku, Anda nikahkan ia dengan Hubairah dan tidak mempedulikanku?”. Dengan bijak pamannya menjawab, “wahai anak saudaraku, kami telah menjalin perbesanan dengan keluarganya. Dan orang mulia sepertimu hanya pantas untuk orang mulia juga”.

Sekali lagi kata Abu Thalib, “... orang mulia sepertimu [Muhammad] hanya pantas untuk orang mulia juga”.  Karena itulah barangkali, Sibel Eraslan menulis syair indah ini : “Kehidupan diturunkan ke dunia dengan dititipkan kekasih-Nya kepada Khadijah, terus mengalir dari bumi ke langit”.

Abu Thalib tahu bahwa keponakannya tengah dan akan mengemban satu amanah besar, dan tugas itu hanya bisa dilaksanakan dengan didampingi oleh perempuan paling mulia saat itu di jazirah Arab. Dia tidak mengizinkan siapa pun, bahkan putrinya sendiri, untuk menggantikan posisi yang akan diisi oleh wanita mulia itu.

Allah memilihkan Khadijah bagi Muhammad, dan Muhammad bagi Khadijah. Dia bukan perempuan pertama yang dipinang pemimpin agung itu, tapi semua tahu, bahwa dialah satu-satunya yang menggenapkan. Dialah kekuatan sekaligus pelipur lara. Teman berjuang dalam dakwah berat dan panjangnya, teman hidup dalam rumahnya yang sederhana, dan penyejuk bagi hatinya sebagai seorang kekasih.

Sungguh, membaca kisah dan laku Khadijah dalam buku Ibrahim Muhammad Hasan Al-Jamal, adalah membaca kisah-kisah yang sarat dengan keteladanan akan perjuangan. Diakah yang beruntung mendapatkan laki-laki terbaik itu, ataukah lelaki itu yang beruntung mendapatkan perempuan sepertinya, ataukah keduanya sama-sama beruntung saling memiliki satu sama lain?


Salam bagimu ya Ibunda, teladan sebaik-baik perempuan. Salam pula bagimu ya Muhammad, sebaik-baik jiwa yang menyambung kekerabatan, menolong yang lemah, dan ikut merasakan penderitaan rakyat yang dipimpinnya. Allahumma Shalli ‘Ala Muhammad, wa ‘Ala aali Muhammad.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar