Rabu, 13 Januari 2016

Catatan Cinta Seorang Menantu


Pernah suatu ketika, seorang sahabat yang tidak kurang sebagai saudara, mengomentari tulisan di kertas-kertas origami yang tertempel di dinding kamar. Origami itu bertuliskan harapan-harapan di masa depan. “wah, indah sekali ya harapannya”, komentarnya. Iya, indah. Namanya juga harapan.

Menjadi pembelajar yang tiada henti, sebaik-baik putri bagi orang tua, wanita yang mencukupkan bagi suami, ibu yang cerdas bagi putra-putri, dan manusia yang bermanfaat bagi semesta. Itulah harapan-harapan saya di masa itu.

Tapi harapan hanyalah harapan. Diri yang sering lemah, kadang ingin berhenti mengejar harapan-harapan itu, dan menjalani semuanya seperti air yang mengalir saja. Tapi kemudian, bacaan-bacaan silih berganti dibuka. Pedoman-pedoman tidak lelah-lelah dipelajari. Ruang belajar tiada henti didatangi. Hingga akhirnya membuat diri paham bahwa berat dan banyaknya perjuangan, selalu beriring dengan indahnya jiwa yang akan dihasilkan. Bersamaan dengan itu, manisnya iman mungkin akan semakin menguatkan. Sebab “berlelah-lelahlah, indahnya hidup lelah setelah berjuang” (Imam Syafi’ie).

Kali ini, tulisan ini adalah tentang harapan untuk menjadi sebaik-baik putri yang sedang dijalani dan diusahakan. Naik turun semangat untuk mencapainya. Kadang mencapai titik terlemahnya, kadang menggebu di titik tertingginya.

Pengalaman hidup sendiri hampir tujuh tahun, selama mengenyam bangku kuliah, membuat diri telah merasa nyaman dengan kesendirian. Bisa keluar kapan saja, pulang kapan saja, menginap di mana saja, istirahat tanpa harus memikirkan siapa saja, memilih waktu belajar dengan bebas. Hingga akhirnya, pernikahan membawa diri untuk hidup di rumah yang baru, bersama keluarga suami.

Awalnya terasa sulit menyesuaikan pola hidup dengan keluarga baru di rumah. Sempat terbit niat mencari rumah sendiri saat suami pergi sekolah. Bisa hidup bebas lagi. Tapi untunglah kesadaran itu kembali mengetuk diri. Bahwa kesempatan untuk hidup bersama orang tua suami, saat dia sedang menuntut ilmu di negeri nan jauh, adalah juga rezeki dari Tuhan. Rezeki karena diberi kesempatan berkhidmat kepada orang tua. Membuatkan keduanya makanan kesukaan, rupanya juga adalah sumber kebahagiaan, yang di hari-hari ini terasa nikmat dijalani. Puja puji Ilahi yang masih memberi kesempatan untuk kembali menemukan kebahagiaan dari hidup berbagi dan bertumbuh bersama mereka yang paling dekat.

Pernah suatu ketika, sewaktu masih sangat baru di rumah mertua, sepasang mertua, saya dan suami sedang berkumpul di ruang makan. Setelah makan, ibu mertua menuju tempat mencuci dan memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci. Saya sendiri pergi ke kamar. Waktu itu mau menghubungi teman yang akan saya dan suami kunjungi pada hari yang sama.

Tidak berapa lama, suami menyusul saya. “Bikin apa?”, tanyanya. “Lagi cari kontak teman. Mau konfirmasi, kalau kita jadi ke rumahnya”, jawab saya. Tidak ada balasan jawaban dari suami. Saya menggeser pandangan dari telepon genggam menuju wajahnya. Dia termenung dengan wajah yang-yah-begitulah. Ada yang salah detected!

“Ada apa? Sedang pikir apa?”, tanya saya. Alhamdulillah, sudah bisa membaca raut muka suami kalau lagi ada yang tidak disepakatinya. “Kita’ [kamu] tinggalkan Ibu yang lagi mencuci”, jawabnya.

Haduh, padahal tidak ada maksud seperti itu. Cuma memang mau mengerjakan yang lain. Akhirnya, saya tinggalkan suami saya setelah menaruh telepon genggam. Saya menuju tempat mencuci dan meminta ibu berhenti mencuci lalu menggantikannya.

Setelah itu, saya jadi belajar untuk selalu mendahulukan pengkhidmatan kepada orang tua dibanding yang lain. Bekerja di kampus dan di tempat bergiat, apalagi sejak ditinggal suami sekolah, kerap kali membuat saya kewalahan juga mengusahakan semuanya bisa tetap saya penuhi. Tapi ya tapi, justru di sana saya malah banyak belajar.

Saya jadi belajar mengerjakan tugas dengan metode sambil-ini-sambil-itu, biar semua kewajiban bisa dilakukan. Maksudnya, kadang kalau mencuci, saya bawa buku. Sembari mesin cuci berkerja, saya membaca. Kalau waktunya membuka tutup mesin biar air sisa kotoran pakaian mengalir, saya tinggalkan buku sejenak. Setelah air di penampungan mesin penuh lagi, saya kembali lagi membaca. Begitu berulang sampai cucian siap dijemur. Kadang-kadang, sembari menjemur, saya putar radio, dengar-dengar berita biar tetap bertambah informasi kekinian yang saya punya. Setelah pakaian kering, tiba waktunya melipat dan menyeterika sembari putar percakapan bahasa Inggris untuk belajar listening. Kadang juga sembari mengobrol dengan suami lewat internet.

Sejak hidup di rumah mertua juga, saya benar-benar jadi ‘ibu-ibu-dapur’. Sehabis shalat malam saya memanfaatkan waktu mengobrol dengan suami atau mengaji, setelah itu lanjut Subuhan dan eit-no-no! tidak ada istilah tidur lagi. Saya harus turun ke dapur dengan sigap, biar tidak telat ke kantor. Di dapur, dengan kekuatan maksimal, saya mengerjakan apa saja. Kalau sudah tidak ada yang perlu diiris atau di campur bahannya, sembari menunggu masakan matang, saya kadang membaca rubrik Literasi Koran Tempo Makassar─tempat saya rajin mempublikasikan tulisan tahun-tahun belakangan ini.

Pernah juga, ibu minta ditemani jenguk keluarga beberapa hari di luar kota. Waktu itu saya masih ada beberapa kewajiban tugas memasukkan nilai akhir mahasiswa yang juga sudah mendesak. Jalannya, saya tetap temani ibu dengan membawa berkas-berkas untuk menginput nilai itu. Dan ya, ternyata saya masih ada banyak waktu senggang di sana. Setelah selesai menngakumulasi nilai, saya masih bisa membaca buku dan menulis catatan pula. Nilai tambahnya lagi, saya jadi ada kesempatan bersilaturahim ke rumah keluarga suami─mumpung masih bisa diusahakan.

Lihatlah ibu-ibu, ternyata kita memang hanya butuh bersungguh-sungguh. Dengan keyakinan semuanya insya Allah bisa dikerjakan, Allah selalu kuatkan diri-diri yang mengusahakan kebaikan.

Ridhallah, fi ridhalwalidayn. Keridaan Tuhan ada pada keridaan orang tua.

Namun ya namun, tetap saja, tidak sempurna diri ini. Meski pun sudah mengusahakan sebaik-baik yang dimampu, tidak jarang juga masih bikin orang tua khawatir. Sesekali pulang malam karena harus mengerjakan yang lain, menambah-nambah beban pikiran mereka. Apatah lagi, di usia yang semakin menua, mereka masih kerap mengerjakan pekerjaan rumah tangga karena anak perempuannya ini di waktu yang sama sedang di luar rumah mengerjakan yang lain.

Saat-saat seperti itu, tersadar bahwa betapa baiknya Tuhan menganugerahkan mertua, yang memandang hubugan ini bukan sebatas menantu-mertua, tapi orang tua-anak. Sebagaimana Ibu selalu mengingatkan, “menantu itu cuma merek, kamu adalah anak Ibu”.

Di saat sedang banyak yang harus diperjuangkan, bantuan Tuhan hadir lewat keduanya, mempermudah setiap usaha yang dilalui dengan doa-doa dari mereka. Sungguh benar kalimat-Nya, bahwa “di setiap kesulitan ada kemudahan”. Kelapangan Tuhan, hadir tidak terbendung di setiap lini kehidupan, namun kerap kali terlewatkan.

Semoga Allah ridhai kesehatan dan kebahagiaan senantiasa melingkupi orang tua kita. Aamiin.


A daughter [in law], 
Makassar, di sela-sela waktu membaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar