Selasa, 19 Januari 2016

Belajar Akuntansi dari Liabilitas Kaum Miskin [2]


Sumber : Kompasiana

“Pernahkah kalian melihat sisi lain dari keindahan kota ini?
Ada begitu banyak bangunan-bangunan yang mewah dan gedung yang tinggi berdiri tegak di kota ini,
tapi apakah kalian tahu di antara bangunan mewah dan gedung-gedung yang tinggi itu, ada sebuah tempat terpencil yang ditinggali oleh kaum miskin?
Tempat yang jauh dari kata mewah, jauh dari kata layak, dan sama sekali tidak ada kenyamanan.
Yang ada hanya botol-botol bekas, kaleng-kaleng bekas, dan karung-karung.
Tidak seperti kehidupan kita, anak-anak bisa menikmati segarnya air bersih,
sementara mereka yang tinggal di pinggiran kota ini hanya memiliki satu sumur yang mereka pakai bersama untuk mandi dan minum.
Apakah ada yang bisa menjamin kalau air itu bersih dan layak dikonsumsi?
Apa yang kalian rasakan ketika melihat ada saudara kita yang hanya bisa makan nasi dan mangga saja bahkan sampai berpuasa karena tidak memiliki apa-apa?
Sadarkah kalian di antara kita yang diberi kehidupan berkecukupan tapi selalu merasa tidak cukup?
Masih pantaskah kalian untuk selalu mengeluh meskipun hidup kalian sudah berkecekupan?
Kalian bisa menyantap makanan setiap hari, kalian bisa langsung makan setiap kali lapar, kalian bisa tidur dengan nyenyak di kasur yang empuk.
Lalu bagaimana dengan kehidupan mereka yang tinggal di pinggiran kota ini?
Jauh dari kata layak, tapi mereka masih bisa tersenyum.
Tidak malukah kalian untuk terus mengeluh?
Pernahkah kalian berbagi dengan mereka yang membutuhkan?
Pernahkah kalian menyempatkan waktu walau sedikit hanya untuk mendengar keluh kesah mereka?
Bagaimana perasaan kalian saat mengalami apa yang kulihat dan kurasakan ini?
Seorang ibu yang menanggung tiga orang anak dan suami yang sudah tidak bisa bekerja karena sakit.
Saat aku menatap mata wanita tua itu, aku bisa melihat betapa berat penderitaan yang ia bawa sendiri.
Aku bisa melihat ketakutan-ketakutannya.
Saat itu hatiku perih melihat air matanya.
Kawan, mari melihat lebih dekat kehidupan orang pinggiran!
Karena mereka adalah saudara kita juga, mereka juga bagian dari keluarga kita.
(Safirli, mahasiswa Akuntansi Madya II)

Tulisan di atas, dengan sedikit editan dari saya, adalah potongan tulisan milik mahasiswa yang mengumpulkan tugasnya selepas mengunjungi rumah warga di kampung pemulung. Jauh lebih banyak dari apa yang saya bayangkan tentang apa-apa yang bisa mereka pelajari. Tugas memahami liabilitas dari perspektif kaum miskin membuat mereka belajar bahwa definisi yang disajikan buku teks selama ini, hanya berasal dari definisi pengusaha-pengusaha besar. Kaum miskin punya definisi sendiri, dan tentu saja itu juga adalah ilmu akuntansi. Kami menolak dikotomi yang ditawarkan sistem pendidikan dengan memisahkan kehidupan orang-orang marginal dari bangku kuliah. Kami memasukkan derita kaum miskin sebagai masalah kami bersama. Masalah kami sebagai bagian dari masyarakat.

“One cannot expect positive results from an educational action program which the particular view of the world held by the people.” (Paulo Freire)

Ada banyak tulisan yang saya terima, dengan berbagai cerita dan perspektif berbeda. Dunia mereka yang berbeda, pada awalnya membuat mereka kaget dengan kondisi yang harus mereka lihat di kampung pemulung. Jauh dari layak, kata mereka. Tapi dari sana, mereka belajar membuka hati dan pikiran untuk mulai mengenal derita orang-orang tertindas. Tertindas ketidakadilan di negeri ini.

Sumber : Safirli Sahastripa

Mereka melihat sendiri, seorang ibu yang renta, yang sedang sakit tumor, tidak mendapatkan jaminan kesehatan karena tidak memiliki kelengkapan berkas administrasi. Mereka mulai mengutuk mimpi kota ini untuk menjadi kota dunia, namun apa yang mereka temukan di sana jauh dari keindahan kota dunia.

Kesemua hal yang mereka pelajari, membuat saya bahagia. Mereka menghebatkan saya. Saya merasa semakin banyak tangan kini. Saat saya bertanya, “maukah kalian bersungguh-sungguh belajar untuk kelak menebarkan manfaat bagi orang-orang miskin, papa dan tertindas?”. Anggukan mereka melambungkan harapan di masa depan. Mahasiswa-mahasiswa yang siap belajar untuk bermanfaat dan berarti.

“Terima kasih Ibu Andis, sudah mengajak kami peduli.”
“Terima kasih sudah membuat kami belajar di luar tembok kelas yang nyaman ini.”
“Terima kasih sudah membuat kami belajar tidak hanya dari buku teks akuntansi.”


Tiga ungkapan itu membuat segala lelah sehabis mengajar jadi hilang. Ungkapan-ungkapan yang lebih berharga dari selembar sertifikat atau piagam. Efeknya jangka panjang. Sekali lagi kata seorang kawan, aktivitas mengajar itu aktivitas penyadaran dan subversif, memang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar