Senin, 04 Januari 2016

Belajar Akuntansi dari Liabilitas Kaum Miskin [1]


“Pendidikan tidak boleh membuatmu jauh dari masyarakat. Pendidikan mesti menjawab rasa ingin tahumu tentang dirimu sendiri, tentang masyarakat, tentang bumi, lingkungan, hingga keyakinanmu terhadap Tuhan.”

Saya selalu ingin mahasiswa-mahasiswa saya selesai di kelas saya tidak hanya membawa ilmu akuntansi yang didiktekan lewat buku-buku. Saya ingin mereka belajar dari hal-hal nyata dan dekat dengan lingkungan mereka sendiri. Sebab itulah, pada pembahasan tentang liabilitas, saya membuat agenda belajar yang sedikit berbeda.

Di tempat saya bekerja mendampingi komunitas pemulung yang ada di samping kampus Unhas, ada salah seorang warga yang terseret masalah utang-piutang. Akibat masalah keluarga, mereka harus mencari dana sebesar 30 juta rupiah.

Penghasilan dari memulung keluarga ini, dalam sepekan, sekitar dua ratus ribu rupiah. Penghasilan ini digunakan untuk kehidupan sehari-hari, dengan menghidupi enam anggota keluarga. Dalam keadaan terdesak, tidak sampai sepekan plastik-plastik dan kertas bekas dikumpulkan, sehari atau dua hari setelah mengumpul, mereka akan menjualnya dengan harga 50 ribu rupiah. Jika itu tidak mencukupi, mereka akan menerima tawaran dari koperasi ‘nakal’ yang meminjamkan dana untuk keperluan sehari-hari. Dengan kondisi seperti ini, mendapatkan dana 30 juta tentulah mustahil.

Akhirnya, jalan mengutang ditempuh. Dua puluh juta rupiah didapatkan dari keluarga lain dengan menjaminkan motor, satu-satunya kendaraan keluarga yang mereka miliki, dan barangkali satu-satunya harta mewah yang dimiliki yang sewaktu-waktu dapat diuangkan jika mendesak. Sementara 10 juta sisanya didapatkan dari rentenir.

Menurut cerita si ibu, rentenir ini berprofesi sebagai tentara. Uang 10 puluh juta rupiah itu dipinjam dalam masa dua bulan dengan bunga satu setengah juta rupiah per bulan. Jika dalam masa dua bulan, sesuai kontrak yang sudah ditandatangani, uang belum dikembalikan maka setiap hari keluarga ini akan didenda sebesar seratus ribu rupiah. Dan apa yang terjadi setelah dua bulan? Tentu saja, dengan sumber penghasilan dari memulung, yang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari saja kesulitan, mereka tidak sanggup membayarnya. Akhirnya, keluarga ini terseret hutang sebesar 10 juta ditambah bunga dua bulan sebesar 3 juta, dan denda 100 ribu setiap harinya.

Saat ini, si anak laki-laki dari keluarga tersebut berprofesi sebagai tukang becak. Menurut cerita ibunya, si anak tidak akan pulang menarik becak sebelum mengumpulkan uang 100 ribu untuk membayar denda tersebut. Ini terjadi setiap hari. Berulang-ulang.

Masalah ini yang kemudian saya bawa di kelas. Kami akan belajar tentang liabilitas (hutang/kewajiban) tidak hanya dari diktat kuliah atau jurnal, tapi dari mereka yang benar-benar terjerat hutang. Kami tidak ingin menjadi intelektual yang terpenjara dengan menara gading. Terlalu tinggi menjulang ke atas tapi tidak dapat menyentuh masyarakat sekitar.

Satu kelas yang saya asuh berjumlah 29 orang. Karena waktu itu terdapat tanggal merah dan merupakan hari raya umat Nasrani, maka ada beberapa mahasiswa saya yang pulang kampung dan memilih tidak masuk kuliah satu pertemuan untuk menikmati liburan yang lebih lama di kampung halaman. Tentu saja saya tidak melarang mereka pulang, apalagi melarang berhari raya. Saya selalu membebaskan mahasiswa saya, dengan mengingatkan mereka konsekuensi dari pilihan yang mereka ambil. Kalau mereka tidak masuk kelas, tidak apa-apa, tapi mereka akan dianggap alpa. Dari keseluruhan pertemuan yang berjumlah 16 kali, toh masing-masing punya ‘jatah’ tidak hadir maksimal tiga kali. Mereka belajar memilih dan bertanggung jawab atas pilihan-pilihan yang ada.

Untuk mengantisipasi yang tidak hadir, saya membagi 29 mahasiswa ini menjadi tiga kelompok. Setiap kelompok akan melakukan tugasnya satu pekan selama selang hari kuliah. Kami kuliah di hari Selasa, dan itu berarti tugas kelompok itu dikerjakan dari hari Rabu hingga Senin, lalu hasilnya dibahas di kelas pada hari Selasa. Karena ada tiga kelompok, maka tugas ini akan berlangsung selama tiga pekan. Pekan pertama untuk kelompok A, pekan kedua kelompk B, dan pekan ketiga kelompok C. Mahasiswa yang memilih liburan, akan masuk di kelompok C, dengan ini mereka tetap bisa mengerjakan tugasnya nanti. Hal ini saya lakukan agar semua mahasiswa saya bisa belajar, tanpa terkecuali.

Jadi kami akan terlibat dalam masalah hutang yang menjerat keluarga yang saya ceritakan di awal. Terlibatnya kami adalah dengan mencarikan jalan keluar. Kami memilih untuk bekerja dengan usaha sendiri untuk meringankan hutang keluarga tersebut. Ringkasnya, para mahasiswa akan melakukan pencarian dana, tanpa meminta uang dari orang tua mereka atau dari kegiatan meminta-minta lainnya. Saya mengusulkan mereka untuk menjual baju-baju bekas. Usulan saya diterima, dan mereka menambahkan sumber pencarian dana lain dengan menjual kertas-kertas bekas. Saya membebaskan mereka untuk mengembangkan kreativitas mereka dalam bekerja.

“Tidak ada dominasi dan intimidasi di dalam kelas. Semua berhak berbicara dan mengutarakan pendapat tanpa beban. Biarkan ide-ide itu hadir menghidupkan kelas.”

Satu Pekan Pertama
Tibalah kelompok A mempresentasikan hasil kerja mereka. Dari 13 mahasiswa, satu per satu menceritakan apa yang dilakukan dan didapatkan dari kegiatan selama sepekan. Dimulai dari mengumpulkan kertas-kertas bekas. Sebagai mahasiswa, mereka punya banyak persediaan kertas bekas. Ide ini menarik karena sumber dayanya dekat dari kehidupan mereka. Daripada kertas bekas itu dibuang atau menumpuk di kamar, lebih baik dijual kan? Selanjutnya, dari kertas-kertas yang terkumpul, mereka membawanya ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS) yang ada di Antang. Di sini, mereka belajar lagi. Menurut Uci─salah satu mahasiswa kelompok A, untuk pertama kalinya dia datang di tempat seperti itu. Bau busuk yang mereka cium dan lingkungan kumuh membuat mereka awalnya jijik. Namun setelah melihat kehidupan orang-orang yang bertahan di sana, mereka jadi bertanya-tanya, kok ada ya yang bisa hidup di lingkungan seperti itu? Akhirnya, kertas-kertas yang mereka antar dengan menggunakan kendaraan motor dengan berat 70 kg terjual. Awalnya, kertas itu dihargai 500 rupiah per kilo saja. Sempat merasa kecewa, namun dari sana mereka belajar lagi, bahwa kerja-kerja orang yang mengumpulkan kertas bekas seperti itu ternyata tidak mudah. Betapa sedikit penghasilan yang mereka dapatkan dari pekerjaan yang menuntut mereka mencari kertas-kertas bekas di jalanan, di tempat sampah, di lorong-lorong depan rumah kita. Setelah mencari tempat lain di sekitar tempat pembuangan sampah tersebut, akhirnya mereka bertemu dengan pembeli kertas yang mau menghargai kertas-kertas tersebut 700 rupiah per kilo. Mereka belajar lagi tawar-menawar dan usaha memperoleh keuntungan yang lebih besar.


Sumber Gambar : Kelompok A (edit)/ Menjual Kertas Bekas

Hari berikutnya, mereka menjual pakaian bekas. Ada salah seorang mahasiswa, yang adalah seorang anak kos, mengaku kalau dia hanya punya satu pakaian bekas. Akhirnya, dia mencari pakaian bekas dari teman sekosnya. Tindakan ini mengajak orang lain untuk peduli.

Pada hari Ahad di jam 8 pagi, mereka akhirnya turun ke pasar tradisional untuk menjual pakaian tersebut. Menurut cerita mereka di kelas, awalnya hal itu aneh bagi mereka. Mahasiswa yang terbiasa menerima uang dari orang tua, harus ke pasar menjual pakaian bekas. Dengan perasaan malu dan gengsi, mereka menggelar koran bekas lalu mulai menjual.

Sumber Gambar : Kelompok A (edit)/ Menjual Pakaian Bekas

Per lembar, pakaian itu ditawarkan dengan harga 15ribu hingga 20ribu. Namun tidak ada yang membeli. Akhirnya, per lembar diturunkan harganya dari 5ribu hingga 10ribu rupiah saja. “Setelah kami pikir-pikir, tidak usah terlalu mahal lah. Kan pakaian bekas juga. Biar sedikit yang didapat, tidak apa-apa lah,” demikian pengakuan Mae. Dengan cara ini, mereka belajar untuk tidak memposisikan keuntungan yang sebanyak-banyaknya─sesuatu yang diusung dan dijunjung oleh kapitalisme. Biar harganya lebih murah, asal bisa laku, dan dengan itu mereka bisa membantu melunasi utang si pemulung.

Pada akhirnya, mereka menikmati kerja-kerja itu. Masyarakat yang datang membeli di sana juga bersimpati dengan kegiatan yang mereka lakukan. Kebaikan itu menyebar, kawan.

Dengan mengingat bahwa hasil penjualan itu justru akan diserahkan pada orang lain, ini tidak mengurangi semangat mereka, malah menambah semangat itu. Kebahagiaan datang dari usaha untuk meringankan beban orang lain.

Demikianlah kelas itu selesai, setelah 15 menit terakhir saya gunakan untuk membahas materi yang diinstruksikan di silabus. Saya tetap memberikan mereka asupan untuk pelajaran yang disediakan dari buku, namun untuk porsi yang lebih sedikit. Tentu dengan harapan, mereka membaca sendiri buku-buku mereka setelah pelajaran di kelas usai. Sebagai kalimat penutup, saya mengucapkan terima kasih atas kekerenan yang sudah mereka lakukan. Saya bahagia dengan apa yang kami pelajari, dan sampai jumpa di kekerenan berikutnya pekan depan.

2 komentar:

  1. Ditunggu cerita tentang 'kekerenan' mereka lagi, Bu Andis.

    Irma UNAIR

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini Irma KJAI kah?

      Ini cerita lanjutannya http://andisriwahyuni-handayani.blogspot.co.id/2016/01/belajar-akuntansi-dari-liabilitas-kaum_19.html :)

      Hapus