“Pendidikan tidak boleh membuatmu jauh
dari masyarakat. Pendidikan mesti menjawab rasa ingin tahumu tentang dirimu
sendiri, tentang masyarakat, tentang bumi, lingkungan, hingga keyakinanmu
terhadap Tuhan.”
Saya
selalu ingin mahasiswa-mahasiswa saya selesai di kelas saya tidak hanya membawa
ilmu akuntansi yang didiktekan lewat buku-buku. Saya ingin mereka belajar dari
hal-hal nyata dan dekat dengan lingkungan mereka sendiri. Sebab itulah, pada
pembahasan tentang liabilitas, saya
membuat agenda belajar yang sedikit berbeda.
Di
tempat saya bekerja mendampingi komunitas pemulung yang ada di samping kampus
Unhas, ada salah seorang warga yang terseret masalah utang-piutang. Akibat
masalah keluarga, mereka harus mencari dana sebesar 30 juta rupiah.
Penghasilan
dari memulung keluarga ini, dalam sepekan, sekitar dua ratus ribu rupiah.
Penghasilan ini digunakan untuk kehidupan sehari-hari, dengan menghidupi enam
anggota keluarga. Dalam keadaan terdesak, tidak sampai sepekan plastik-plastik
dan kertas bekas dikumpulkan, sehari atau dua hari setelah mengumpul, mereka
akan menjualnya dengan harga 50 ribu rupiah. Jika itu tidak mencukupi, mereka
akan menerima tawaran dari koperasi ‘nakal’ yang meminjamkan dana untuk keperluan
sehari-hari. Dengan kondisi seperti ini, mendapatkan dana 30 juta tentulah
mustahil.
Akhirnya,
jalan mengutang ditempuh. Dua puluh juta rupiah didapatkan dari keluarga lain
dengan menjaminkan motor, satu-satunya kendaraan keluarga yang mereka miliki,
dan barangkali satu-satunya harta mewah yang dimiliki yang sewaktu-waktu dapat
diuangkan jika mendesak. Sementara 10 juta sisanya didapatkan dari rentenir.
Menurut
cerita si ibu, rentenir ini berprofesi sebagai tentara. Uang 10 puluh juta
rupiah itu dipinjam dalam masa dua bulan dengan bunga satu setengah juta rupiah
per bulan. Jika dalam masa dua bulan, sesuai kontrak yang sudah ditandatangani,
uang belum dikembalikan maka setiap hari keluarga ini akan didenda sebesar
seratus ribu rupiah. Dan apa yang terjadi setelah dua bulan? Tentu saja, dengan
sumber penghasilan dari memulung, yang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari
saja kesulitan, mereka tidak sanggup membayarnya. Akhirnya, keluarga ini
terseret hutang sebesar 10 juta ditambah bunga dua bulan sebesar 3 juta, dan
denda 100 ribu setiap harinya.
Saat
ini, si anak laki-laki dari keluarga tersebut berprofesi sebagai tukang becak.
Menurut cerita ibunya, si anak tidak akan pulang menarik becak sebelum
mengumpulkan uang 100 ribu untuk membayar denda tersebut. Ini terjadi setiap
hari. Berulang-ulang.
Masalah
ini yang kemudian saya bawa di kelas. Kami akan belajar tentang liabilitas (hutang/kewajiban) tidak
hanya dari diktat kuliah atau jurnal, tapi dari mereka yang benar-benar
terjerat hutang. Kami tidak ingin menjadi intelektual yang terpenjara dengan
menara gading. Terlalu tinggi menjulang ke atas tapi tidak dapat menyentuh
masyarakat sekitar.
Satu
kelas yang saya asuh berjumlah 29 orang. Karena waktu itu terdapat tanggal
merah dan merupakan hari raya umat Nasrani, maka ada beberapa mahasiswa saya
yang pulang kampung dan memilih tidak masuk kuliah satu pertemuan untuk
menikmati liburan yang lebih lama di kampung halaman. Tentu saja saya tidak
melarang mereka pulang, apalagi melarang berhari raya. Saya selalu membebaskan
mahasiswa saya, dengan mengingatkan mereka konsekuensi dari pilihan yang mereka
ambil. Kalau mereka tidak masuk kelas, tidak apa-apa, tapi mereka akan dianggap
alpa. Dari keseluruhan pertemuan yang berjumlah 16 kali, toh masing-masing
punya ‘jatah’ tidak hadir maksimal tiga kali. Mereka belajar memilih dan
bertanggung jawab atas pilihan-pilihan yang ada.
Untuk
mengantisipasi yang tidak hadir, saya membagi 29 mahasiswa ini menjadi tiga
kelompok. Setiap kelompok akan melakukan tugasnya satu pekan selama selang hari
kuliah. Kami kuliah di hari Selasa, dan itu berarti tugas kelompok itu
dikerjakan dari hari Rabu hingga Senin, lalu hasilnya dibahas di kelas pada hari
Selasa. Karena ada tiga kelompok, maka tugas ini akan berlangsung selama tiga
pekan. Pekan pertama untuk kelompok A, pekan kedua kelompk B, dan pekan ketiga
kelompok C. Mahasiswa yang memilih liburan, akan masuk di kelompok C, dengan
ini mereka tetap bisa mengerjakan tugasnya nanti. Hal ini saya lakukan agar semua
mahasiswa saya bisa belajar, tanpa terkecuali.
Jadi
kami akan terlibat dalam masalah hutang yang menjerat keluarga yang saya
ceritakan di awal. Terlibatnya kami adalah dengan mencarikan jalan keluar. Kami
memilih untuk bekerja dengan usaha sendiri untuk meringankan hutang keluarga
tersebut. Ringkasnya, para mahasiswa akan melakukan pencarian dana, tanpa
meminta uang dari orang tua mereka atau dari kegiatan meminta-minta lainnya.
Saya mengusulkan mereka untuk menjual baju-baju bekas. Usulan saya diterima,
dan mereka menambahkan sumber pencarian dana lain dengan menjual kertas-kertas
bekas. Saya membebaskan mereka untuk mengembangkan kreativitas mereka dalam
bekerja.
“Tidak ada dominasi dan intimidasi di
dalam kelas. Semua berhak berbicara dan mengutarakan pendapat tanpa beban. Biarkan
ide-ide itu hadir menghidupkan kelas.”
Satu Pekan Pertama
Tibalah
kelompok A mempresentasikan hasil kerja mereka. Dari 13 mahasiswa, satu per
satu menceritakan apa yang dilakukan dan didapatkan dari kegiatan selama
sepekan. Dimulai dari mengumpulkan kertas-kertas bekas. Sebagai mahasiswa,
mereka punya banyak persediaan kertas bekas. Ide ini menarik karena sumber
dayanya dekat dari kehidupan mereka. Daripada kertas bekas itu dibuang atau
menumpuk di kamar, lebih baik dijual kan? Selanjutnya, dari kertas-kertas yang terkumpul,
mereka membawanya ke Tempat Pembuangan Sampah (TPS) yang ada di Antang. Di
sini, mereka belajar lagi. Menurut Uci─salah satu mahasiswa kelompok A, untuk
pertama kalinya dia datang di tempat seperti itu. Bau busuk yang mereka cium
dan lingkungan kumuh membuat mereka awalnya jijik. Namun setelah melihat
kehidupan orang-orang yang bertahan di sana, mereka jadi bertanya-tanya, kok
ada ya yang bisa hidup di lingkungan seperti itu? Akhirnya, kertas-kertas yang
mereka antar dengan menggunakan kendaraan motor dengan berat 70 kg terjual.
Awalnya, kertas itu dihargai 500 rupiah per kilo saja. Sempat merasa kecewa,
namun dari sana mereka belajar lagi, bahwa kerja-kerja orang yang mengumpulkan
kertas bekas seperti itu ternyata tidak mudah. Betapa sedikit penghasilan yang
mereka dapatkan dari pekerjaan yang menuntut mereka mencari kertas-kertas bekas
di jalanan, di tempat sampah, di lorong-lorong depan rumah kita. Setelah
mencari tempat lain di sekitar tempat pembuangan sampah tersebut, akhirnya
mereka bertemu dengan pembeli kertas yang mau menghargai kertas-kertas tersebut
700 rupiah per kilo. Mereka belajar lagi tawar-menawar dan usaha memperoleh
keuntungan yang lebih besar.
Sumber Gambar : Kelompok A (edit)/ Menjual Kertas Bekas |
Hari
berikutnya, mereka menjual pakaian bekas. Ada salah seorang mahasiswa, yang adalah
seorang anak kos, mengaku kalau dia hanya punya satu pakaian bekas. Akhirnya,
dia mencari pakaian bekas dari teman sekosnya. Tindakan ini mengajak orang lain
untuk peduli.
Pada
hari Ahad di jam 8 pagi, mereka akhirnya turun ke pasar tradisional untuk
menjual pakaian tersebut. Menurut cerita mereka di kelas, awalnya hal itu aneh
bagi mereka. Mahasiswa yang terbiasa menerima uang dari orang tua, harus ke
pasar menjual pakaian bekas. Dengan perasaan malu dan gengsi, mereka menggelar koran
bekas lalu mulai menjual.
Per
lembar, pakaian itu ditawarkan dengan harga 15ribu hingga 20ribu. Namun tidak
ada yang membeli. Akhirnya, per lembar diturunkan harganya dari 5ribu hingga
10ribu rupiah saja. “Setelah kami pikir-pikir, tidak usah terlalu mahal lah.
Kan pakaian bekas juga. Biar sedikit yang didapat, tidak apa-apa lah,” demikian
pengakuan Mae. Dengan cara ini, mereka belajar untuk tidak memposisikan keuntungan
yang sebanyak-banyaknya─sesuatu yang diusung dan dijunjung oleh kapitalisme.
Biar harganya lebih murah, asal bisa laku, dan dengan itu mereka bisa membantu
melunasi utang si pemulung.
Pada
akhirnya, mereka menikmati kerja-kerja itu. Masyarakat yang datang membeli di
sana juga bersimpati dengan kegiatan yang mereka lakukan. Kebaikan itu
menyebar, kawan.
Dengan
mengingat bahwa hasil penjualan itu justru akan diserahkan pada orang lain, ini
tidak mengurangi semangat mereka, malah menambah semangat itu. Kebahagiaan
datang dari usaha untuk meringankan beban orang lain.
Demikianlah
kelas itu selesai, setelah 15 menit terakhir saya gunakan untuk membahas materi
yang diinstruksikan di silabus. Saya tetap memberikan mereka asupan untuk
pelajaran yang disediakan dari buku, namun untuk porsi yang lebih sedikit.
Tentu dengan harapan, mereka membaca sendiri buku-buku mereka setelah pelajaran
di kelas usai. Sebagai kalimat penutup, saya mengucapkan terima kasih atas
kekerenan yang sudah mereka lakukan. Saya bahagia dengan apa yang kami
pelajari, dan sampai jumpa di kekerenan berikutnya pekan depan.
Ditunggu cerita tentang 'kekerenan' mereka lagi, Bu Andis.
BalasHapusIrma UNAIR
Ini Irma KJAI kah?
HapusIni cerita lanjutannya http://andisriwahyuni-handayani.blogspot.co.id/2016/01/belajar-akuntansi-dari-liabilitas-kaum_19.html :)