Selasa, 05 Januari 2016

2015


Tahun 2015 berlalu. Kepada mereka yang merenda asa sembari mengukir jejak langkah perjuangannya, setahun bisa jadi berlalu tidak terasa. Hingga bulir-bulir keletihan itu mengalir tanpa keluh lagi. Hingga tarikan napas yang berat karena perjuangan terhembuskan tanpa beban lagi. Sebab keyakinan bahwa tidak ada proses yang sia-sia, dan setiap kebaikan akan kembali kepada diri sendiri pula.

Tahun 2015 bagi diri saya sendiri adalah tahun yang mencatatkan pelbagai perpindahan ruang gerak baru. Tidak hanya status yang berubah, tempat tinggal untuk berjuang pun berubah.

Masih teringat jelas, medio 2013, setelah baru saja merampungkan studi di S1 Akuntansi Unhas, saya memutuskan melanjutkan kuliah di jenjang berikutnya. Bukan tanpa risiko, sebab pihak keluarga, utamanya mama, begitu menginginkan anaknya yang mencapai gelar sarjana pertama di antara saudara-saudaranya ini memiliki pekerjaan yang baik. Mama saya, seperti banyak mama yang pernah hidup di masa orde baru, dengan banyak pengalaman dan pelajaran yang negara ini masukkan dalam hidupnya, menitipkan rasa aman terhadap masa depan anaknya pada pekerjaan kantoran berpenghasilan tinggi. Dengan keinginan besar untuk melihat anaknya berpenghasilan sendiri dan berangkat ke kantor setiap pagi berbaju dinas, tentulah suatu keputusan berat untuk membiarkan saya berangkat sekolah lagi. Tidak sebentar masa yang dibutuhkan untuk meluluhkan hati beliau, bahwa apa yang saya pilih adalah yang terbaik untuk saat itu.

Selain dari keluarga, hal lain yang membuat saya berat kala itu adalah meninggalkan komunitas tempat saya bergiat. Pada masa-masa itu, hampir semua volunteer tiba-tiba memutuskan untuk melanjutkan hidup, meninggalkan komunitas kami. Mencoba menguatkan diri, bahwa pilihan yang akan dijalani juga sebagai ladang untuk memantaskan diri dan menambah amunisi untuk kelak kembali bergiat di komunitas yang sama. Belajar sebanyak-banyaknya untuk kembali menebar manfaat sebanyak-banyaknya pula.

Dengan segala konsekuensinya, setelah menerima pengumuman kelulusan dari pihak Pascasarjana Undip, berangkatlah saya ke Semarang. Tapi bukan tanpa rintangan lagi saya harus memulai studi S2 saya di Undip, sebab pengumuman kelulusan beasiswa yang saya ambil belum keluar.

Tidak kurang tiga bulan lamanya, dengan menerima telepon dari mama hampir setiap hari yang merasa sedih saya tinggalkan, dan dengan menahan-nahan segala macam keinginan untuk makan enak karena malu meminta biaya hidup pada orang tua, hari-hari menguatkan tekad dan keyakinan akan pilihan menambah kualitas diri dengan pengetahuan, akhirnya terlewati juga. Pengumuman beasiswa pun keluar, dan nama saya ada dalam salah satu daftarnya. Puja-puji Ilahi atas Maha Luas karunia-Nya.

Satu semester terlewati dengan kebiasaan membawa bekal ke kampus demi mengirit uang beasiswa. Pilihan membeli buku-buku jauh lebih menarik ketimbang membelanjakannya untuk hal-hal lain. Menghabiskan waktu di kamar dengan buku-buku atau melewati waktu di sela-sela kuliah di perpustakaan adalah aktivitas yang jadi hobbi. Seringkali teman bertanya, “kenapa sih harus segitunya?”. Singkat jawabnya, “saya ke sini (Semarang) untuk belajar, bukan untuk yang lain.”

Satu hal, selama masa kuliah, saya memiliki teman berjuang yang luar biasa keren. Namanya Arinal Muna. Berteman dengannya, membuat saya percaya diri melakukan apa saja. Dia selalu yakin saya bisa mengerjakan yang saya sendiri meragukannya.

Hingga tibalah program Pendidikan Profesi Akuntan (PPAk) kembali terbuka di kampus yang sama saya menempuh S2. Keputusan untuk mendaftar telah bulat. Dengan menabung sisa-sisa uang hidup bulanan dari beasiswa S2, biaya kuliah PPAk dapat dibayarkan. Mumpung di Semarang, sekalian saja ambil program profesinya. Pokoknya, saya harus belajar sebanyak-banyaknya, semampu saya. Begitulah jiddiyah itu tertanam di dalam hati.

Diawali pada bulan Januari 2015, secara resmi saya menutup status mahasiswa saya sebagai mahasiswa PPAk di hadapan para pejabat kampus, teman-teman wisudawan, dan mama saya yang saat itu hadir pada upacara wisuda saya. Tidak ada target apa-apa waktu kuliah dan memang secara pribadi sudah selesai dengan yang namanya target-menarget. Saya percaya, usaha terbaik harus dilakukan, urusan hasil itu belakangan. Tuhan tidak pernah salah membalas setiap jerih. Kalau pun pada akhirnya hasil tidak sesuai dengan usaha, barangkali itulah yang terbaik. Manisnya usaha ada pada proses yang dijalani, bukan dari hasil yang dinanti.

Sumber Gambar : Arinal Muna

Di masa-masa kuliah, yang saya tahu, saya hanya harus belajar dan mendapatkan banyak pengetahuan. Tidak hanya dari dosen dan teman-teman, tapi dari referensi-referensi yang tersedia di kampus, yang pastinya tidak bisa saya dapatkan semudah itu di Makassar nanti. Ada satu hal yang selalu tertanamkan dalam diri, bahwa sesusah apa pun ujian yang diberikan dosen pada masa akhir kuliah, sesedikit apa pun pengetahuan yang saya miliki memasuki ruangan ujian, saya tidak akan pernah melakukannya dengan cara yang curang. Katakan tidak untuk menyontek! Bagaimana mungkin saya bisa mengajarkan mahasiswa-mahasiswa saya kelak untuk tidak menyontek kalau waktu kuliah saya sendiri menyontek? Ilmu, yang sejatinya suci sebab bersumber dari Tuhan yang Maha Berilmu, haruslah didapatkan dari cara-cara yang baik dan benar. Dengan jalan-jalan itu, Tuhan izinkan saya bersama dua kawan lain meraih IPK tertinggi pada saat wisuda PPAk. Sekali lagi, tidak pernah ada target seperti itu, tidak pernah ada keinginan mengalahkan yang lain, dan jauh dari niat untuk berkompetisi dengan kawan-kawan. Hanya mengusahakan yang terbaik dari diri sendiri, urusan hasil, biarkan Tuhan bekerja.

Berselang tujuh bulan setelah itu, tepat di tanggal 03 Agustus, seorang laki-laki yang saya percayakan sisa usia saya terlewati berdua dengannya, menjadikan saya sebagai sayapnya untuk terbang menyapa Tuhan. Saya resmi mengubah status sebagai seorang istri bagi laki-laki saya itu. Bersamanya, saya menaruh harapan pada jalan panjang mengukir kebaikan dalam hidup.

Dua pekan setelah menikah, saya kembali ke Semarang merampungkan studi untuk mengikuti ujian thesis. Pernikahan tidak boleh jadi alasan untuk tidak menyelesaikan kewajiban-kewajiban yang harus diselesaikan. Tiga pekan di Semarang, saya merampungkan ujian thesis saya dengan penelitian yang sampai hari ini tidak saya sangka bisa selesai juga. Sebenarnya, saya merencanakan untuk menyelesaikan thesis tersebut di bulan Maret. Namun apa daya, mundur lima bulan dari waktu yang saya rencanakan karena berbagai hal. Penelitian yang menuntut saya harus membaca lebih banyak, dan sempat sakit selama dua bulan lamanya sehingga harus istirahat total di tempat tidur.

Tapi lagi-lagi Tuhan memberikan kejutannya di akhir perjuangan itu. Selama satu bulan setelah ujian thesis, saya kembali ke Makassar untuk menemani suami di hari-hari terakhirnya di Makassar sebelum berangkat melanjutkan studi doktoralnya. Setelah suami berangkat, kira-kira sepekan, saya kembali lagi ke Semarang untuk mengikuti upacara wisuda. Didampingi mama, saya memasang toga lagi dan menerima ijazah sebagai lulusan terbaik program magister di jurusan saya. Sekali lagi, tidak pernah menargetkan dan tidak pernah ingin mengalahkan siapa-siapa. Betapa Tuhan Maha Asyik dengan rencana-rencana-Nya.

Sumber Gambar : Arinal Muna

Tibalah kembali ke Makassar untuk berjuang. Setelah memantapkan hati untuk tidak menerima tawaran tidak kurang dari tujuh perguruan tinggi guna bergabung sebagai dosen, Tuhan izinkan diri untuk menetap di Makassar dengan menjadi salah satu tenaga pengajar di kampus kota ini. Akhir 2015, secara resmi saya bergabung di kampus tersebut. Kampus yang mempertemukan saya dengan banyak mahasiswa hebat, yang dari mereka saya justru belajar banyak.

Di kota inilah gerak itu kembali dimulai. Kembali tidak hanya membawa diri, tapi keinginan-keinginan untuk berarti bagi yang lain. Kembali bergiat di tempat yang pernah saya tinggalkan. Kembali kepada orang tua, yang alhamdulillah, Tuhan masih beri kesempatan untuk berkhidmat kepada mereka. Kembali ingin menjejak kebaikan di tanah pulang.

Sungguh tidak ada yang patut disombongkan sebab memang bukan apa-apa tanpa Tuhan yang menguatkan langkah sejauh ini. Sejatinya diri hanyalah raga yang berjalan dan akan berujung sebagai mangsa cacing-cacing di tanah jika tanpa mengisi jiwa dan ruh dengan kebaikan-kebaikan. Demikianlah 2015 terlewati. Kepadamu yang sedang meniti langkah untuk berjuang, semoga Tuhan menguatkanmu. Kepadamu yang sedang meniti hari-hari untuk tidak berputus asa memperbaiki diri, sungguh kau tidak pernah sendiri.


Hidup yang tidak pernah direfleksikan adalah hidup yang tidak pantas dijalani, demikianlah Socrates mengingatkan. Semoga tulisan ini menjadi refleksi bagi diri, dan untung baik jika ada yang mereguk hikmah darinya. Salam. 

2 komentar: