Senin, 28 Desember 2015

Melahirkan Banyak Anak Tapi Biasa-biasa Saja (?)


Beberapa waktu lalu, saya iseng bertanya kepada seorang teman, “kamu mau punya anak berapa nanti?”. Dengan yakin dan sedikit pongah dia menjawab, “sepuluh”. Terkaget-kaget dibuatnya, saya langung menyusulkan pertanyaan lanjutan, “kok banyak sekali? Kamu yakin bisa menghidupi semuanya dengan baik? Kamu yakin bisa mendidik semuanya secara maksimal?”

“Ya, biar nanti kalau sudah tua, tidak sepi. Coba bayangkan kalau kita sudah menua, dan satu per satu anak-anak sudah pergi? Kalau banyak anak, misalnya yang tua pergi, yang muda kan masih ada. Kan ‘persediaan’ anaknya banyak”, jawab si teman tadi, coba menjelaskan kepada saya. Dia lalu melanjutkan, “soal bisa atau tidaknya menghidupi, saya yakin Allah memberi rezeki kepada masing-masing anak. Sementara soal mendidik, yah yang penting mereka semua tidak ada yang nakal. Kan cukup”.

Waktu itu, saya hanya bisa diam sembari memendam berbagai pertanyaan dalam benak. Meski kurang setuju dengan jawabannya, percuma juga berdebat. Dalam hal ini, saya sadar bahwa saya tidak berkapasitas mengguruinya atau bahkan sekedar meluruskan pemahamannya. Bisa saja, jauh dari sadar, sayalah yang justru tidak memahami benar bagaimana cara menjaga dan mendidik amanat-Nya.

***

Beberapa hari menghabiskan waktu di suatu desa yang jauh dari keramaian membuat saya menemukan sedikit jawaban baru. Di desa itu, jaringan telepon boleh dikata tidak ada. Hanya ada satu jenis provider yang bisa masuk di desa itu, dan itu pun untuk menggunakannya, kami harus menggantung HP di pintu jendela. Sedikit saja posisi HP berubah, atau pintu jendela goyang, jaringan bisa langsung hilang. Saya tidak bisa lupa saat saya menerima telepon dari suami sambil menempelkan telinga di papan pintu jendela.

Saya menetap beberapa hari di sebuah rumah yang merupakan bagian dari wilayah pondok pesantren. Selain sekolah-sekolah agama yang berjenjang, pondok pesantren ini juga memiliki satu lembaga sosial untuk merawat anak yatim dan atau piatu. Kelas-kelas mereka masih terbuat dari papan-papan yang bersusun. Atap asrama para santri, termasuk atap rumah pimpinan pondok pesantren, tersusun dari anyaman daun rumpia. Mushallahnya berlantai campuran semen seadanya, dengan ditutupi karpet plastik yang disusun berjajar mengikuti bentuk saf shalat─sebagian lantai dibiarkan tanpa karpet, ayam atau kucing silih bergantian masuk untuk buang hajat di sana, membuat santri secara bergantian mengepel bekas kotoran hewan-hewan ini.

Sumber : Dokumentasi Pribadi/ Suasana Pesantren

Ada hal menarik yang saya pelajari dari kehidupan orang-orang di desa tersebut, khususnya di lokasi pesantren tempat saya tinggal. Setelah shalat Subuh, anak-anak santri mengaji secara bergantian di mesjid, sampai matahari muncul. Hal ini membuat saya kagum. Berusaha menahan kantuk, anak-anak itu menghabiskan surah-surah yang harus mereka baca, ditemani para guru ngaji masing-masing. Namun ada yang menganggu saya. Saat sore hari tiba, anak-anak yang sama saya dapati duduk-duduk termenung di bawah pohon. Tanpa kegiatan produktif. Bahkan anak tertua pimpinan pondok, di suatu siang, termenung dan sesekali terkantuk-kantuk kebingungan hendak melakukan apa di bawah pohon depan rumahnya.

Hampir tidak ada alternatif lain untuk berkegiatan. Tidak banyak buku yang tersedia di sana. Ada beberapa kitab yang diletakkan di rak-rak mushallah, dan sayangnya tidak menarik untuk dibaca anak-anak tersebut untuk sekedar menjadi teman duduk di sore hari.

Jujur saja, pada masa sekarang-sekarang ini, saya kerap menyesali diri yang di masa muda kehilangan banyak kesempatan untuk belajar banyak. Buku-buku yang minim, dan tanpa bimbingan dari lingkungan terdekat yang mendukung suasana belajar saya di masa kecil. Orang tua saya, dengan segala pemuliaan kepada keduanya, terbatas dalam hal menciptakan lingkungan yang dapat membuat saya mencintai kegiatan membaca.

Dan demikianlah, mengapa saya cukup terganggu dengan santri-santri itu. Ingin sekali membawakan mereka buku-buku bacaan dan mendekatkan mereka dengan kegiatan membaca. Agar mereka tumbuh, tidak sekedar hebat dalam hablumminallah, tapi juga dalam hablumminannas. Mengutip tulisan Andi Zulkarnain, kita butuh agamawan yang intelek, juga intelektual yang beragama. Ingin sekali, melihat anak-anak santri itu tumbuh sebagai pecinta Al-Quran sekaligus orang-orang cerdas yang menjadi cahaya di masyarakat suatu saat nanti. Entah menjadi ilmuwan, aktivis sosial, pendidik, atau apa pun profesi yang akan mereka geluti yang mampu memberi manfaat bagi banyak orang.

Kepada teman saya, yang ingin memiliki anak sepuluh, generasi seperti apa yang ingin dia hadirkan di dunia ini? Generasi seperti apa yang dia maksud dengan “yang penting tidak nakal?” Apakah generasi yang lahir di dunia, makan, minum, bekerja, menikah, beranak lalu mati? Generasi yang numpang lewat di dunia, di mana ada atau tidaknya dia tidak memberi sumbangsih apa-apa bagi kehidupan? Ataukah generasi yang dirindukan umat, yang bercahaya dalam akhlak dan menjadi pembawa berbagai kebaikan di masyarakatnya? Generasi yang hidupnya menambah kebaikan dan kematiannya membuat setiap orang yang mengenalnya bersedih karena kehilangan sosok pejuang?

Ibrahim Amini, dalam bukunya “Asupan Ilahi : Agar Tak Salah Dalam Mendidik Amanat-Nya”, menulis bahwa setiap manusia berpotensi memiliki tiga jenis maujud dalam dirinya. Pertama wujud materi yang menyebabkannya memiliki bentuk, warna, dan pada akhirnya dapat bertumbuh. Wujud materi yang dimiliki manusia ini sama seperti yang dimiliki tumbuhan. Kedua adalah wujud hewani. Wujud ini berupa hawa nafsu, marah, bahkan kehendak untuk makan dan tidur. Semua wujud kedua ini dimiliki oleh hewan. Oleh karena itu, jika manusia hanya hidup untuk makan, minum, tidur, bekerja, memuaskan nafsu dan berketurunan, menurut Ibrahim Amini, dia sama saja dengan hewan. Pembeda antara manusia dengan tumbuhan dan hewan kemudian ada pada wujud ketiga. Wujud ini bersifat non-materi, dia adalah akal, kalbu, hati, dan atau jiwa. Wujud inilah yang menyebabkan manusia mampu mengaktualkan kemanusiaannya.

***

Jadi, masihkah ingin melahirkan generasi “yang penting tidak nakal”? Ataukah generasi yang mulia dalam pengetahuan, perbuatan, dan kebaikan sekaligus?

Ini bukan tentang kita tidak percaya pada ke-Maha Kaya-an Tuhan sebab kita yakin Dia selalu mencukupkan, bahkan jika pun anak-anak itu berjumlah lebih dari sepuluh. Tapi ini tentang kemampuan mendidik dengan sebaik-baiknya. Manakah yang lebih baik, satu mutiara atau sepuluh batu? Tapi tentu saja, melahirkan generasi mutiara tidaklah mudah, tidak semudah mendatangkan jawaban “sepuluh” dari pertanyaan, “kamu mau punya anak berapa nanti”?

Suatu desa di Sulawesi Barat,

Desember 2015.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar