Senin, 14 Desember 2015

Masalah dan Kebaikan


Hari ini, di sela mempelajari aset tidak lancar untuk dijual, saya menampilkan kepada mahasiswa tulisan dari seorang mahasiswa di Universiy of Manchester. Tulisan tersebut dibacakan secara bergantian oleh empat mahasiswa yang datang terlambat pagi ini. Oh ya, di kelas, kami punya peraturan yang dibuat dan disepakati pada pertemuan pertama. Kuliah dimulai tepat jam 8, dan 15 menit pertama diberi kebijakan bagi yang terlambat untuk masuk kelas, namun dihitung hadir terlambat, yang artinya nilai pada kolom sikap mereka akan minus. Sementara mahasiswa yang datang lewat 15 menit, boleh masuk mendapatkan materi, tapi dihitung tidak hadir. Hal ini saya lakukan untuk sama-sama melatih diri kami agar lebih disiplin. Peraturan itu juga berlaku pada saya, sebagai salah satu unsur di dalam kelas, tentu saja. Alhamdulillah, saya selalu datang 15 menit lebih awal sebelum kelas dimulai. Ada pun kebijakan yang saya ambil untuk tidak melarang yang datang di atas 15 menit masuk ke dalam kelas, karena saya tidak akan menghalangi siapa pun mahasiswa saya yang mau belajar. Biarlah konsekuensi ketidakhadiran mereka di absen yang menjadi hukuman. Namun, jangan sampai mereka saya halangi mendapatkan ilmu pada hari itu. Jadi, yang datang lewat 15 menit, silakan masuk, tapi dianggap alpa.

Kembali lagi tentang tulisan yang dibacakan di kelas, isi tulisan itu tentang seorang anak difabel yang kini tengah menempuh program doktornya di Manchester. Apa yang dilakukannya untuk bisa sampai sejauh itu? Berjuang. Dia menolak menerima keterbatasannya sebagai sesuatu yang menghambat hidupnya. Dia melawan keterbatasannya, dan berjuang untuk terus belajar. Lalu apa cita-citanya? Dia ingin jadi guru. Lihatlah, setelah usaha yang dilakukannya sedemikian keras, cita-citanya tetap membumi. Dia ingin jadi guru, profesi mulia yang akan mendampingi anak-anak negeri untuk belajar.

Kepada mahasiswa, saya tanyakan apa yang mereka dapatkan dari tulisan itu? Mereka menangkap pesan apa?

Salah satu dari mereka menjawab begini, “dia yang terbatas, mau berjuang dan bisa bertahan dengan kondisinya. Sedangkan kami yang sudah sempurna [sebagai ciptaan], masih malas belajar.” Apa yang ingin saya sampaikan kepada mereka, pada akhirnya sudah mereka jawab sendiri. Saya hanya cukup menambahkan apa yang belum mereka dapatkan. Di tulisan itu, si penulis meyakini bahwa apa yang dia terima berupa keterbatasan, hanyalah masalah kecil. Sebab itu, tidak akan jadi beban baginya untuk melanjutkan hidup. Saya coba kembalikan kepada mahasiswa, bahwa sejatinya kita semua punya masalah. Seberapa besar masalah itu bagi kita, atau bahkan masalah itu tidaklah berarti sama sekali, itu tergantung seluas apa hati kita menampungnya. Hati yang besar akan menganggap masalah besar sebagai sesuatu yang kecil saja. Dan yang tidak kalah penting, jangan sampai masalah-masalah internal dalam diri kita, menghalangi diri untuk berbuat kebaikan. Lihatlah si anak difabel itu, di tengah keterbatasannya, dia ingin jadi seseorang yang bermanfaat untuk orang lain.

Saya dihinggapi perasaan bahagia yang berlimpah, di saat masalah-masalah yang ditulis di kertas oleh mahasiswa saya bertumpuk di meja, di sebelah tumpukan itu ada tumpukan kertas lain. Tumpukan kertas itu adalah tugas kebaikan yang saya tugaskan kepada mereka setiap pekan. Dalam satu pekan, mereka menuliskan satu kebaikan yang dilakukan. Dan, lihatlah bahwa siapa pun selalu punya potensi berbuat baik, bahkan meski masalah-masalah dari diri sendiri sebenarnya banyak.


Dalam buku ‘Tafsir Kebahagiaan’ milik Jalaluddin Rahmat, salah satu cara membahagiakan diri adalah dengan membantu orang lain. Kita meringankan beban hidup kita dengan mencoba meringankan beban hidup orang lain. Karena kita pun percaya, “barang siapa yang menyelesaikan urusan suatu makhluk, Allah yang akan menyelesaikan urusannya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar