Selasa, 22 Desember 2015

Karena Kita Sama-sama Belajar


Rampunglah sudah setengah semester membersamai dua kelas yang saya dampingi di semester ini di tempat saya mengajar. Itu artinya, tibalah waktunya saya mengevaluasi diri. Masih banyak yang perlu diperbaharui. Masih banyak ilmu akuntansi madya yang belum kami pahami. Masih ada mahasiswa saya yang terlambat masuk kelas, meski jumlahnya kini bisa dihitung jari. Masih ada juga mahasiswa yang diam-diam mengeluarkan HP dari tasnya, entah untuk membalas pesan, atau sekedar menjadikan layar HP-nya sebagai cermin. Masih ada juga yang belum belajar sebelum presentasi. Banyak lagi hal yang masih kurang.

Tapi beriring dengan itu, ada banyak kejadian membahagiakan di kelas. Ada banyak perubahan. Ada banyak kemauan untuk memperbaharui diri.

Sumber : Dokumentasi Pribadi/Suasana Saat Presentasi


Dengan segala keterbatasan kami di kelas, saya selalu percaya, metode terbaik dalam belajar bukan dengan menakut-nakuti atau menekan peserta didik. Biarkan mereka belajar mencintai apa yang akan dipelajari. Tugas seorang pendamping kelas (dosen) hanya memantik rasa cinta itu.

Duh duh duh... hari ini di kelas, ada seorang mahasiswa yang menangis menceritakan pengalamannya. Jadi, hari Ahad lalu, saya mengisi kelas pelatihan mahasiswa baru, dan materi yang saya bawakan adalah membangun budaya literasi. Saya tidak tahu, seberapa jauh materi itu berbekas di kepala mereka. Sampai kemudian, Mae, salah satu peserta pelatihan itu yang juga menjadi peserta di mata kuliah saya bercerita pada teman-temannya pagi ini. Tentang dirinya yang tersadar menyia-nyiakan banyak waktu untuk tidak belajar. Tentang dirinya yang lebih banyak baca status di media sosial ketimbang baca buku akuntansi. Dan, dia bercerita sambil menangis. Saya terharu luar biasa.

Terharu saya bukan karena diri saya, tapi karena kemauan Mae untuk menyadari dirinya dan mau berbenah diri. Saya percaya, setiap anak punya potensi untuk berkembang dan bertumbuh. Sebagai guru atau dosen, kita hanya perlu mendampingi mereka. Mengingatkan potensi yang mereka punya.

Tentu saja tidak selalu mulus. Saat ada-ada saja hal buruk yang saya temui di kelas, seperti penampilan presentasi yang membuat peserta kelas tidak mengerti apa-apa yang mereka jelaskan. Saya hanya bisa meminta mereka duduk, dan meminta peserta kelas bertepuk tangan. Apa yang perlu ditepuktangani? Toh mereka boleh dianggap gagal mempresentasikan materi? Tapi tidak, usaha mereka, sekecil apa pun itu, kita menghargainya. Tentu saja sembari mengingatkan kepada presenter selanjutnya agar menutupi kekurangan yang ada pada pertemuan pekan depan.

Pendidikan itu membebaskan kan? Pendidikan itu memanusiakan manusia kan? Jadi kenapa harus membuat mereka merasa ‘bodoh’?

Tidak kurang rasa bahagia saya saat membaca tulisan salah satu mahasiswa yang menangkap tindakan yang saya pilih itu sebagai bagian dari cinta untuk mereka. Ini tulisan Eka :
“... Kemudian manfaat lainnya adalah sikap menghargai, proses yang selama ini dikerjakan, dari kita mengerjakan tugas individu maupun kelompok. Jika itu tidak dihargai kita pasti akan merasa kecewa, meskipun saya banyak kekurangan dan masih banyak kesalahan, tapi Ibu Andis selalu menerima itu dengan senyuman dan menghargai hasil dari mahasiswanya...”

Terima kasih Mae. Terima kasih Eka. Terima kasih semua. Saya bahagia jadi pendamping kelas kalian. Pendamping mahasiswa yang mau belajar lagi dan lagi. Saya tahu kalian membaca ini. Dan waktu dua setengah jam tidak cukup untuk menyampaikan hal-hal seperti ini di kelas. Sebab itu catatan ini ditulis.

Kalian hebat. Kalian juara. Tidak perlu rendah diri dengan melihat ‘kehebatan’ orang lain. Kita hanya perlu menjadi lebih baik dari hari ke hari.

Selalu belajar ya.

Penuh cinta,

teman kalian : Andis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar