Minggu, 13 Desember 2015

Ibu dan Ibadah Sosialnya


“Kita tidak boleh dan tidak bisa memaksa orang lain untuk ke lapangan, sama seperti apa yang kita lakukan. Masing-masing orang punya jalan sendiri untuk berkebaikan.” Itu adalah jawaban yang dilontarkan Butet Manurung kepada saya, pada saat  saya dan volunteer Sekolah Rakyat KAMI yang lain, berkesempatan berdiskusi khusus dengannya di acara Makassar International Writers Festival, 2011 silam.

Kita tidak boleh menentukan pilihan orang lain, apalagi menuntut mereka mengikuti jalan yang kita pilih. “Ingat!”, masih lanjut Butet, “kita ini relawan. Manusia yang bergerak berlandaskan kerelaan, bukan paksaan.”

Dari penjelasan Butet, saya dan mungkin Anda yang membaca tulisan ini, kembali diingatkan bahwa dalam melakukan gerakan sosial, kita tidak boleh merasa ‘paling’ dari yang lain. Seolah dengan kita menjadi relawan, kegiatan positif orang lain menjadi ‘cemen’ dan ‘debu-debu’. Merasa paling baik dan merasa lebih pahlawan dibanding orang lain.

***

Tentang gerakan sosial, dalam beberapa literatur yang pernah saya baca, gerakan sosial adalah gerakan yang memberdayakan. Orientasinya adalah suatu kelompok masyarakat. Pertanyaannya, bagaimana dengan gerakan-gerakan ‘kecil’ individu? Apakah tidak dihitung sebagai gerakan sosial?

Untuk menjawab pertanyaan itu, sejenak izinkan saya bercerita perihal kegiatan seorang perempuan yang beberapa bulan ini saya panggil ‘Ibu’. Dia adalah perempuan yang lebih dari separuh usianya dihabiskan mengabdi sebagai pendidik. Meski bergaji tetap, dia selalu punya usaha sampingan. Salah satunya warung di depan rumah.

Kalau ditanya, kenapa ibu masih harus repot-repot buka warung, sementara gaji sudah mencukupi? “Agar lebih banyak orang yang bisa dibantu”, jawabnya.

Di rumah, ibu tidak hanya merawat dan membesarkan empat anak kandungnya. Dia sanggup memenuhi kebutuhan hidup keluarga lain yang sudah yatim dan atau piatu, atau keluarga lain yang hendak menitipkan anaknya karena alasan lainnya di rumah.

Perihal banyaknya anak yang dirawat ibu, saban Ahad saya mengantarnya ke pasar, dia pernah bercerita bahwa sewaktu di rumah masih banyak orang, dia selalu ke pasar membeli banyak ikan untuk persediaan sepekan. “Sekarang, saya hanya perlu membeli seperlunya”, kata ibu. Beberapa dari anak yatim yang dirawatnya, kini sudah berkeluarga dan menetap di rumah yang berbeda.

Tidak hanya di rumah, di sekolah tempatnya mengajar, ibu juga membuka warung kecil-kecilan. Dia menjajakan makanan ringan kepada para siswa setiap jam istirahat. Keuntungan jualan itu tidak untuk masuk di kantong pribadinya, tapi dibagi kepada siswanya yang tidak membawa uang jajan ke sekolah. “Saya tidak akan sanggup melihat ada anak yang datang ke sekolah dan hanya bisa bengong melihat temannya menikmati jajan saat jam istirahat”, jelas ibu.

Masih perihal kebaikan ibu, pagi di hari yang sama saat saya menulis naskah tulisan ini, saya memakai helm baru berangkat ke tempat kerja. Itu artinya, helm lama saya akan ikut menumpuk di rak helm bersama helm-helm yang lain. Kata ibu, “tidak usah dibuang. Nanti kalau ada tamu yang datang dan tidak pakai helm, dikasih saja helm itu. Siapa yang tidak punya helm, itu yang dikasih.”

Sepulang dari kerja, ibu menyuguhi saya es buah pemberian temannya. Karena ibu suka memberi, maka mudah saja orang-orang juga memberi kepada ibu.

Setelah segelas berhasil saya habiskan, perut saya terasa penuh. Namun es buah tersebut masih tersisa, jadi saya hendak masukkannya di kulkas. Tapi niat itu tertahan, karena kata Ibu, lebih baik dibagikan kepada nenek di sebelah. Daripada besok sudah rusak es buahnya, ada baiknya dimakan nenek.

Semoga Anda tidak bosan membaca kebaikan ibu yang masih akan saya tuliskan─karena saat ini kebaikan tidak semenarik fitnah, konflik dan pergunjingan untuk dinikmati sebagai berita.

Sehari sebelum kejadian helm-helman dan es buah itu, di pagi hari, seorang perempuan datang bersama cucunya yang sedang menangis dalam gendongan. Mereka datang mencari ibu untuk meminta tolong agar cucunya diobati. Di sekitar kompleks, semua tahu bahwa ibu punya kelebihan dalam memijat anak bayi yang sakit.

Berlanjut di siang harinya, ibu mendapat panggilan ke rumah tetangga untuk mengobati anak yang lumpuh. Di tengah jalan pulang, ibu dihadang teman-temannya. Kata mereka, ibu tak perlu membantu keluarga itu karena sering berlaku tidak baik kepada ibu. Jawab ibu, “Selama ada yang meminta tolong dan saya sanggup menolong, saya akan menolongnya. Persoalan dia pernah berbuat buruk kepada saya, biarkan itu jadi urusan Tuhan”.

Ibarat pohon mangga, ibu membalas lemparan batu dengan buah. Kita membalas keburukan orang lain dengan kebaikan, demikian prinsip ibu. Pesan di dalam al Quran menganjurkan kita untuk memaafkan. Ibu menjalankannya sebagai seorang muslim. Ibu memilih memaafkan, lalu membalasnya dengan kebaikan.

***

Ibu adalah perempuan yang kasihnya mencukupkan. Tidak massif perjuangannya, pun tidak ‘sehebat’ para aktivis sosial, tapi konsistensi kebaikan ‘kecil’-nya, adalah teladan dalam beribadah sosial. Bersepakat dengan Butet Manurung, “Kita tidak boleh dan tidak bisa memaksa orang lain berkebaikan seperti apa yang kita lakukan. Masing-masing orang punya cara sendiri untuk melakukan aktivitas sosialnya.”

Kepada ibu, terima kasih sudah mengalirkan begitu banyak kebaikan. Negeri ini butuh banyak perempuan sepertimu, yang melihat kebahagiaan dari seberapa konsisten kita mampu berbuat baik.


Rubrik Literasi, Koran Tempo Makassar (Jumat, 11 Desember 2015)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar