Senin, 09 November 2015

Yang Menerima dengan Lapang



Sabtu, masih tanggal-tanggal awal di bulan kelahiran saya, 2015, saya mengunjungi sebuah daerah yang akrab sebagai arena bermain dan belajar bersama Komunitas Sekolah Rakyat KAMI. Dalam masa dua tahun tidak berkunjung, ada banyak yang berubah. Benar-benar banyak.

Sumber : Dokumen Pribadi
Penghuni kampung pemulung itu kini berjumlah 14 keluarga saja, lebih sedikit dari terakhir saya ke sana. Rumah-rumah kos-kosan bertingkat semakin mengepung tempat tinggal mereka. Jarak antara satu rumah warga dengan yang lain berdempetan. Rumah Daeng Juma’ (56) misalnya, dinding rumahnya persis berdempetan dengan rumah di sebelah kanannya. Susunan rumah-rumah warga berbentuk U, di tengah-tengahnya digunakan untuk menaruh gerobak, dan di sore hari digunakan ibu-ibu untuk mengobrol melepas penat─setelah seharian keliling kampus “mencari”.

Anak-anak yang tinggal di sana tidak lagi semua saya kenali. Saya hanya mengingat beberapa saja: Dila, Sari, Syamsul, dan Daud. Itu pun pada awalnya, saya ragu menyebut nama dari keempatnya saat berjumpa. Perubahan bentuk wajah mempersulit saya mengingat keempatnya. Anak-anak memang bertumbuh lebih cepat dari yang kita bayangkan.

Sumber : Dokumen Pribadi

Tidak kurang dari tiga belas anak bermukim bersama orang tua mereka. Meski baru perjumpaan pertama dengan sebagian besar di antara anak-anak itu, tapi selalu seperti itu─seperti apa yang saya pahami dari pola perkenalan anak-anak pemulung dengan mahasiswa yang datang di sana, anak-anak akan dengan terbuka menyambut yang datang. Tidak ada prasangka buruk, yang ada hanya senyuman dan pelukan.

Kedatangan saya di hari itu hanya bermain-main dan mengobrol ringan bersama ibu-ibu. Tidak lebih. Merasakan pelukan dan mendengar tawa renyah anak-anak sudah lebih dari cukup untuk membuat saya berjanji datang di esok hari membawakan dan membacakan buku cerita untuk mereka.

Omong-omong, beberapa hari sebelum menulis catatan ini, Butet Manurung─seorang perempuan yang meninggalkan kemewahan kota menuju hutan belantara untuk mengajari anak-anak yang ada di sana berhitung dan membaca, menulis dalam sebuah koran tentang kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh volunteer saat melakukan aksi sosial. Beberapa relawan─kita sebut saja begitu untuk memudahkan, berniat melakukan aksi sosial bersama warga dengan asumsi dirinya datang dengan pengetahuan yang diperlukan oleh warga dan dengan pengetahuan itu mereka ingin berbagi. Sayangnya, para relawan seringkali lupa, bahwa ‘membantu’ tidak selalu berarti ‘memudahkan’. Berniat membantu haruslah dibarengi dengan pengetahuan awal tentang apa yang benar-benar dibutuhkan oleh pihak yang ingin dibantu. Jika bantuan itu tidak dibutuhkan, alih-alih melahirkan kemudahan, yang ada justru akan melahirkan beban baru.

Paulo Freire, sebelum memutuskan melakukan gerakan pengajaran kepada para warga daerah timur laut (1961), tentu mencari tahu terlebih dahulu kebutuhan warga di sana. Adalah hal yang lucu, jika Freire datang ke sana dengan tumpukan buku-buku pergerakan untuk membebaskan mereka, sementara membaca saja mereka belum mampu. Kita butuh tahu apa yang dibutuhkan warga untuk dapat menawarkan ‘tangan’ dan kemudian bergandengan tangan bersama.


***
Persoalan warga pemulung, tidak selalu sebatas masalah keuangan untuk memenuhi isi perut. Di negara berpayung hukum ini, masalah administrasi kewarganegaraan adalah salah satu contoh masalah lain yang melingkari kehidupan mereka. Memang benar, pendidikan gratis sembilan tahun telah dicanangkan oleh pemerintah. Tetapi seperti sebuah produk jualan, gratis itu selalu dibarengi dengan syarat dan ketentuan berlaku.

Kasus Sita, misalnya. Usianya sudah menginjak tujuh tahun pada bulan Juni tahun ini (2015). Seharusnya dia sudah duduk di bangku sekolah bersama teman-temannya. Tapi masalah kemudian hadir sebab Sita tidak memiliki akta kelahiran. Menurut ibu dari Sita, saat dia ingin mengurus akta kelahiran, ada kenalan yang ingin membantunya dengan upah seratus ribu rupiah. Ibu Sita saat itu sedang tidak memegang uang sebanyak itu, maka dia merelakan satu tahun ini untuk menunda Sita masuk sekolah.

Kasus Sita hanyalah salah satu contoh dari terbatasnya fasilitas yang dapat mereka nikmati di negara ini. Ya, sepertinya memang, di negara kita ini, kemudahan adalah hak istimewa bagi sebagian kalangan saja. Dan kita tahu bersama, kalangan siapa yang menikmati hak istimewa itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar