Sabtu,
masih tanggal-tanggal awal di bulan kelahiran saya, 2015, saya mengunjungi
sebuah daerah yang akrab sebagai arena bermain dan belajar bersama Komunitas
Sekolah Rakyat KAMI. Dalam masa dua tahun tidak berkunjung, ada banyak yang
berubah. Benar-benar banyak.
Sumber : Dokumen Pribadi |
Penghuni
kampung pemulung itu kini berjumlah 14 keluarga saja, lebih sedikit dari
terakhir saya ke sana. Rumah-rumah kos-kosan bertingkat semakin mengepung
tempat tinggal mereka. Jarak antara satu rumah warga dengan yang lain
berdempetan. Rumah Daeng Juma’ (56) misalnya, dinding rumahnya persis
berdempetan dengan rumah di sebelah kanannya. Susunan rumah-rumah warga
berbentuk U, di tengah-tengahnya digunakan untuk menaruh gerobak, dan di sore
hari digunakan ibu-ibu untuk mengobrol melepas penat─setelah seharian keliling
kampus “mencari”.
Anak-anak
yang tinggal di sana tidak lagi semua saya kenali. Saya hanya mengingat
beberapa saja: Dila, Sari, Syamsul, dan Daud. Itu pun pada awalnya, saya ragu
menyebut nama dari keempatnya saat berjumpa. Perubahan bentuk wajah mempersulit
saya mengingat keempatnya. Anak-anak memang bertumbuh lebih cepat dari yang
kita bayangkan.
Tidak
kurang dari tiga belas anak bermukim bersama orang tua mereka. Meski baru
perjumpaan pertama dengan sebagian besar di antara anak-anak itu, tapi selalu
seperti itu─seperti apa yang saya pahami dari pola perkenalan anak-anak
pemulung dengan mahasiswa yang datang di sana, anak-anak akan dengan terbuka
menyambut yang datang. Tidak ada prasangka buruk, yang ada hanya senyuman dan
pelukan.
Kedatangan
saya di hari itu hanya bermain-main dan mengobrol ringan bersama ibu-ibu. Tidak
lebih. Merasakan pelukan dan mendengar tawa renyah anak-anak sudah lebih dari
cukup untuk membuat saya berjanji datang di esok hari membawakan dan membacakan
buku cerita untuk mereka.
Omong-omong,
beberapa hari sebelum menulis catatan ini, Butet Manurung─seorang perempuan
yang meninggalkan kemewahan kota menuju hutan belantara untuk mengajari
anak-anak yang ada di sana berhitung dan membaca, menulis dalam sebuah koran
tentang kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh volunteer saat melakukan aksi sosial. Beberapa relawan─kita sebut saja begitu untuk memudahkan, berniat
melakukan aksi sosial bersama warga dengan asumsi dirinya datang dengan
pengetahuan yang diperlukan oleh warga dan dengan pengetahuan itu mereka ingin
berbagi. Sayangnya, para relawan seringkali lupa, bahwa ‘membantu’ tidak selalu
berarti ‘memudahkan’. Berniat membantu haruslah dibarengi dengan pengetahuan
awal tentang apa yang benar-benar dibutuhkan oleh pihak yang ingin dibantu.
Jika bantuan itu tidak dibutuhkan, alih-alih melahirkan kemudahan, yang ada
justru akan melahirkan beban baru.
Paulo
Freire, sebelum memutuskan melakukan gerakan pengajaran kepada para warga daerah
timur laut (1961), tentu mencari tahu terlebih dahulu kebutuhan warga di sana.
Adalah hal yang lucu, jika Freire datang ke sana dengan tumpukan buku-buku
pergerakan untuk membebaskan mereka, sementara membaca saja mereka belum mampu.
Kita butuh tahu apa yang dibutuhkan warga untuk dapat menawarkan ‘tangan’ dan
kemudian bergandengan tangan bersama.
***
Persoalan
warga pemulung, tidak selalu sebatas masalah keuangan untuk memenuhi isi perut.
Di negara berpayung hukum ini, masalah administrasi kewarganegaraan adalah
salah satu contoh masalah lain yang melingkari kehidupan mereka. Memang benar,
pendidikan gratis sembilan tahun telah dicanangkan oleh pemerintah. Tetapi seperti
sebuah produk jualan, gratis itu selalu dibarengi dengan syarat dan ketentuan
berlaku.
Kasus
Sita, misalnya. Usianya sudah menginjak tujuh tahun pada bulan Juni tahun ini
(2015). Seharusnya dia sudah duduk di bangku sekolah bersama teman-temannya.
Tapi masalah kemudian hadir sebab Sita tidak memiliki akta kelahiran. Menurut
ibu dari Sita, saat dia ingin mengurus akta kelahiran, ada kenalan yang ingin
membantunya dengan upah seratus ribu rupiah. Ibu Sita saat itu sedang tidak
memegang uang sebanyak itu, maka dia merelakan satu tahun ini untuk menunda
Sita masuk sekolah.
Kasus
Sita hanyalah salah satu contoh dari terbatasnya fasilitas yang dapat mereka
nikmati di negara ini. Ya, sepertinya memang, di negara kita ini, kemudahan
adalah hak istimewa bagi sebagian kalangan saja. Dan kita tahu bersama, kalangan
siapa yang menikmati hak istimewa itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar