Selasa, 03 November 2015

Usaha Kecil untuk Hidup Lebih Dekat Bersama Keluarga



Beberapa hari yang lalu, saya menghabiskan setengah hari di Perpustakaan Daerah Semarang untuk menamatkan cerita Leo Tolstoy. Novel pendek pengarang Rusia itu diterjemahkan oleh sastrawan besar kita, Pramoedya Ananta Toer. Dalam keadaan kurang sehat, saya membaca tulisan Tolstoy seperti obat. Menyembuhkan. Ya, tulisan yang baik─yang diterjemahkan dengan cara yang juga baik, terbukti membawa dampak yang baik untuk pembacanya. Setidaknya begitulah yang saya rasakan, meski setelah membacanya saya harus diingatkan kembali dengan perut yang agak bermasalah.

Novel itu bercerita tentang Katie, seorang perempuan yang menikah dengan laki-laki yang usianya jauh lebih tua darinya. Masa-masa awal pernikahan mereka, seperti banyak cerita yang kita tahu tentang pengantin baru, adalah semata tentang cinta yang sedang berbunga-bunga. Setelah dua bulan menikah, Katie sudah merasa bosan dengan aktvitas yang sama setiap hari di rumah. Bangun, memasak untuk suami, menunggu suami pulang kerja, lalu tidur. Kepada suaminya dia sampaikan, dia ingin bergerak. Lalu suaminya yang pengertian ini, mengajak Katie berlibur ke kota. Di kota itu, Katie merasa lebih berarti. Kehidupan dan pergaulannya di kota membuat Katie merasa lebih dihargai, bukan lagi sebagai seorang perempuan yang berlindung di balik suaminya. Tapi permasalahan terjadi. Suaminya merasa tidak dihargai dengan kelakuan Katie. Maka sang suami memutuskan meninggalkan Katie yang tetap ngotot tinggal di kota.

Singkat cerita, Katie menyesali perbuatannya. Dia kembali ke rumah suaminya. Tapi keadaan sudah berbeda. Cinta keduanya tidak lagi sama. Katie akhirnya harus hidup bersesal diri karena menyia-nyiakan kebahagiaannya yang hakiki. Kebahagiaan sebagai seorang istri.

Apa yang dialami Katie tersebut, mengingatkan saya dengan seorang perempuan bernama Hasri Ainun Besari. Ya, dia adalah istri Habibie. Ainun adalah warna kontras dari Katie. Dia adalah perempuan yang menemukan kebahagiaannya di balik kebahagiaan suaminya. Dia adalah perempuan yang menemukan arti gerak dari cinta kasih yang dia berikan kepada Habibie.

***

Izinkan saya bercerita, yang mungkin akan panjang, tentang peristiwa yang terjadi dua hari sebelum saya membaca cerita Tolstoy itu. Malam itu, malam tasyakuran wisudawan Fakultas Ekonomika dan Bisnis Undip. Saya mewakili teman-teman wisudawan ditunjuk membacakan sambutan wisudawan. Seperti yang sudah saya bayangkan, saya menangis haru karena membaca naskah sambutan yang saya buat tiga jam sebelum acara itu dimulai. Air mata saya tumpah karena mengingat dua orang laki-laki yang tidak hadir pada wisuda saya. Laki-laki pertama adalah bapak saya. Saya akan mengutip isi naskah pidato itu di sini :
Kepada laki-laki yang tidak sempat hadir di ruangan ini untuk menyaksikan wisuda saya karena beliau terkena strok ringan, dia adalah Bapak saya. Saya memanggilnya Etta. Seorang petani yang selalu setia menunggu saya di rumah untuk pulang. Dia adalah orang yang selalu mendukung setiap keputusan saya.


Setelah penyerahan piagam, acara selanjutnya adalah sambutan dari dekan. Saya sebenarnya malu dan sedikit menyesal sudah membacakan naskah sambutan yang sifatnya agak pribadi. Harusnya saya tidak perlu bercerita tentang kondisi orang tua saya. Dampaknya, dekan membahas isi sambutan saya. “Saat pertama kali masuk di kelas Mb Andis, Pak Anis sudah pesan. Ada yang namanya Andis di sana, diajak aja gabung di Undip… Undip gitu loh. Lima besar kampus top di Indonesia, kok ditolak. Akhirnya kita tahu dari sambutannya tadi, beliau ingin dekat dengan orang tuanya”.

Mendengar itu, saya hanya tersenyum simpul. Sesungguhnya saya juga ingin dekat dengan laki-laki kedua yang tidak hadir di wisuda saya.

***

Sehari setelah wisuda, bapak saya menelepon. “Bagaimana urusanmu? Kata mama kamu diminta tinggal di sana ya? Kalau saya, terserah kamu saja. Tapi bagaimana dengan suamimu?”

“Di Makassar saja. Di Makassar saya masih bisa berbuat banyak.”, jawab saya. “Ya, di Makassar saja kalau itu menurut kamu yang terbaik”, tutup bapak saya di telepon.



Saya jadi ingat peristiwa saat pertama kali, Pak Anis menawarkan saya untuk bergabung di Undip. Sehari setelah penawaran itu diberikan kepada saya, terpisah jarak yang jauh dari Semarang, di rumah saya sedang persiapan menyambut rombongan tamu besar. Setelah mendengar tawaran Pak Anis, saya menelepon mama saya di rumah. Saya menceritakan tawaran itu. “Jauh ya. Tapi terserah kamu”, kata mama saya. “Lalu bagaimana dengan laki-laki yang keluarganya akan datang ke rumah besok, Ma?”, tanya saya. “Tapi bukankah dia akan meninggalkanmu di tahun pertama pernikahanmu? Terima saja dulu. Nanti kan bisa pindah”, kata mama saya. “Tapi tidak selalu sesederhana itu, Ma”, jawab saya.


Saya menghubungi laki-laki itu. Meminta pendapatnya. Di ujung telepon, dia menyerahkan keputusan kepada saya. “Ya sudah, tidak usah diterima.”, saya memutuskan. “Kenapa?”, tanyanya memburu. “Biar kita bisa dekat”, tutup saya.

Demikianlah akhirnya, saya memilih tidak menerima tawaran yang membuat saya dihubungi oleh beberapa orang untuk memikirkan lagi keputusan saya itu. Keputusan yang membuat orang akan melihat saya dengan tatapan aneh seolah mau berkata “sayang ya, sudah ditawarkan kok ditolak”. Saya pernah menerima surel dari seorang dosen yang menyuruh saya shalat istikharah karena tidak menerima tawaran itu.

Sejujurnya, saya merasa tidak ada apa-apanya untuk tawaran itu. Kualitas saya, duh, jauh di antara dosen-dosen Undip. Pak Anis, dosen yang tidak kurang sebagai orang tua ideologi saya di kampus, entah bagaimana bisa, melihat saya dengan ekspektasi yang menurut saya berlebih. Tuhan benar-benar menutupi aib dan kelemahan saya di mata Pak Anis.
***
Memilih memutuskan untuk kembali menetap di Makassar, adalah perkara kompleks. Ada banyak alasan untuk memutuskan meninggalkan tawaran yang menjanjikan di Semarang, dan kembali ke Makassar dengan kesempatan mengabdi (sebagai dosen) yang masih samar. Seperti yang saya selalu pegang, memilih dengan sadar berarti bersiap dengan segala konsekuensi pilihan yang kita ambil. Dan dengan itulah saya tidak ingin dan semoga tidak pernah menyesal dengan keputusan saya. Mengutip sebuah pesan dari seorang guru: orang yang dewasa adalah orang yang tahu mana pilihan yang paling baik untuk dirinya. Bertanggung jawab atas pilihannya itu.

Memutuskan menetap di Makassar, di kota suami saya menetap, tentulah tidak juga lantas menjadikan saya sehebat Ainun. Butuh proses yang panjang dan usaha tiada henti untuk menjadi sebaik-baik perempuan di mata suami. Hanya Tuhan dan suami saya yang tahu, betapa banyak keburukan dalam diri saya sebagai seorang istri. Tapi setidak-tidaknya, keputusan hidup bersama dengannya di kota yang sama, setelah dia menyelesaikan studinya kelak, adalah usaha kecil untuk menjadikannya istimewa. Usaha kecil untuk tumbuh dan hidup bersama.

Hidup dalam rumah yang sama, bagi pasangan suami istri, meski tidak selalu penuh bahagia, adalah jalan untuk mengusahakan kehidupan yang baik. Begitulah pesan yang ingin disampaikan Tolstoy lewat tokoh Katie dan suaminya barangkali. Seperti kalimat terakhir dalam novel tersebut : “Kebahagiaan suami istri hanya terdapat dalam rumah tangga dan keluarganya sendiri yang beres, teratur dan baik”.

Kepada laki-laki kedua yang tidak hadir di wisuda saya, saya ingin mengutip tulisan saya di ucapan terima kasih tesis saya: “Kepada Muh. Akbar Bahar, laki-laki yang telah, tengah dan akan menjadi teman berjuang dalam hidup. Saya kehabisan kata mendeskripsikanmu, kecuali “aku mencintaimu−mencintai ketabahanmu mencintaiku.”

*Catatan ini saya buat untuk merayakan cinta. Tiga bulan lalu, cinta kami lahir dalam rumah Tuhan. Tidak selalu mudah jalan panjang ini, tapi semoga segala yang tidak mudah itu membuat segalanya lebih indah dan layak untuk diperjuangkan.

Yours,
Semarang, 03 Nopember 2015 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar