Senin, 02 November 2015

Hak Terbit



Rabu, 21 Oktober 2015, saya berangkat ke Semarang dari Makassar menggunakan maskapai penerbangan yang membagikan gratis koran kepada semua penumpangnya. Ada dua pilihan koran waktu itu, koran pertama terbit skala nasional dan koran lainnya adalah koran yang terbit dengan pembaca skala lokal. Saya mengambil koran lokal. Harusnya, koran itu bisa saya baca di atas pesawat. Tapi karena saya mengantuk─seperti kebiasaan saya setiap kali naik pesawat, saya hanya memasukkan koran itu ke dalam tas. Kapan-kapan saja dibaca, pikir saya.

Menjelang setengah bulan di Semarang, koran itu belum juga saya baca. Dibuang ya sayang juga. Eman-eman kalau kata teman saya.

Akhirnya, karena harus beristirahat di kamar saja seharian ini untuk memulihkan kesehatan, saya lantas memutuskan mengepak barang yang akan saya bawa pulang ke Makassar, dan koran itu saya sentuh juga. Alih-alih langsung membawanya ke tong sampah, saya malah membuka halaman opininya. Setidak-tidaknya, ada tulisan yang saya baca di dalamnya─sebelum membuangnya. Dan, di sinilah masalahnya. Saya menemukan nama saya sebagai salah satu penulis di rubrik opini. Oh!

Sependek ingatan ya, saya memang pernah mengirim naskah tulisan itu. Tapi sudah lama dan sudah lupa juga kapan tepatnya saya mengirimnya. Karena waktu itu sudah makan beberapa pekan tapi tidak ada respon dari pihak editor, saya mengirim naskah itu ke koran lain─dengan sedikit memolesnya lagi. Tulisan itu kemudian terbit di bulan Maret lalu lewat koran lain. Seperti biasa, sudah saya posting juga di blog pribadi ini beberapa hari setelah terbit

Saya tidak tahu, mungkin koran pertama tadi kekurangan naskah. Karena tidak ada yang mengirim naskah dan rubrik opini harus tetap diisi, akhirnya naskah saya dicomot--yang mungkin saja sudah jadi debu-debu di folder kumpulan naskah si editor.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar