Jumat, 04 September 2015

Dia yang [Meng]-Hebat-[kan]


Terbilang sudah sembilan hari sejak saya telah menjadi seorang istri, namun hidup tanpa suami−dalam makna geografis−di kota tempat saya menghabiskan dua tahun belakangan ini untuk melanjutkan studi. Saya harus membiarkannya hidup tanpa seorang istri di sisinya, menjalani masa-masa awal sebagai pengantin baru sendirian, karena kewajiban saya sebagai seorang penerima beasiswa yang membuat saya dengan sadar harus bertanggung jawab dengan studi yang saya jalani ini. Akhir Agustus ini, tepat sudah saya menempuh masa studi dua tahun, dan syukurnya, hari ini saya sudah mendaftarkan diri untuk maju ujian tesis.

Selama masa studi, saya hampir tidak pernah merasakan rindu yang sebegitu buncahnya untuk pulang seperti saat-saat sekarang. Sejak sembilan hari perpisahan kami di bandara, begitu seringnya saya, dengan perasaan yang sentimentil, membujuk-bujuk diri sendiri untuk meninggalkan kota ini dan menemui suami saya dengan segera. Namun kemudian, dia menguatkan saya. Alih-alih mengeluhkan ketidakmampuan saya menyambutnya setiap pagi dengan ucapan “selamat pagi, Sayang”, dia justru mengirimi sebuah pesan pendek “sabarki” (kamu sabar ya) atau “saya dukungjeki selalu(saya selalu mendukungmu). Atas sikapnya ini, saya mematut-matut diri, mampukah saya menjadi hebat sepertinya, menguatkannya saat dua bulan kemudian dia pergi untuk melanjutkan studinya, yang waktunya tidaklah sesingkat perpisahan kami kali ini?

Sebuah adagium sering terdengar, “di balik pria hebat, selalu ada wanita hebat”. Saya bersepakat, tapi saya juga percaya sebaliknya, “di balik wanita hebat, juga ada pria hebat”. Sebab barangkali pernikahan bukan “siapa di balik siapa”, tapi perkara “tumbuh bersama untuk saling menghebatkan”. Pernikahan, setahu saya, saling menyempurnakan.

Meski rindu tidak bisa saya bendung dengan bacaan-bacaan yang saya paksakan masuk di kepala, atau obrolan-obrolan yang sengaja saya buat untuk sedikit meredakan keinginan bertemu, atau bahkan menyibukkan diri dengan keluar ke mana saja untuk mengalihkan pikiran, pada dasarnya saya begitu bahagia. Saat ini, jauh di atas kesedihan kami yang belum bisa berdampingan untuk shalat berjama’ah atau sekedar duduk berdua di atas beranda rumah, saya menyimpan kesyukuran luar biasa dengan adanya dia. Saya mensyukuri kebaikan Tuhan yang telah membuatnya ada untuk saya dan saya untuk dia. Saya mensyukuri bahwa telah hadir seseorang yang bisa saya rindukan dan menanti-nanti masa untuk bertemu kembali. Saya mensyukuri bahwa telah ada seseorang yang bertanya “buku judul ini sudah punyaki’?” (kamu sudah punya judul buku yang ini?), dan kemudian dia akan membelinya jika saya belum memilikinya untuk kami baca dan miliki bersama. Saya mensyukuri bahwa telah ada seseorang yang memikirkan kondisi buku-buku yang saya koleksi selama dua tahun terakhir dan berinisiatif untuk membelikannya rak lalu menyimpannya dengan baik di rumahnya. Saya mensyukuri bahwa telah ada seseorang yang luas pengetahuannya untuk bisa saya ajak berdiskusi atau bahkan sekedar meminta pertimbangannya tentang apakah saya sebaiknya mendaftar ujian tesis sekarang atau menunggu pembimbing saya tidak sibuk lagi. Saya mensyukuri bahwa telah bertambah seseorang yang dapat saya mintai untuk bangun mengucap nama saya di ibadah malamnya. Dan begitu banyak kesyukuran menyelimuti saya dengan menjadi perempuannya. Semoga dia merasakan kesyukuran yang sama.

Saya selalu dan selalu ingin percaya, bahwa keputusan yang masing-masing kami ambil, bukan karena kami saling tega untuk pergi jauh dan membiarkan diri masing-masing hidup tanpa pendamping. Juga bukan karena kami egois untuk hanya mengejar kepuasan mereguk indahnya pengetahuan lantas mengorbankan waktu bersama. Tapi karena kami ada untuk saling menguatkan, saling mendukung, dan saling bersinergi. 

Cinta tak boleh melemahkan, ia menguatkan untuk terus bermanfaat dalam kebaikan.
Cinta tak boleh membuat kurang, ia menggenapkan dalam doa dan dukungan.
Cinta adalah tangga untuk berjalan bersama menuju pelukan Tuhan.

“Suami, tetaplah hebat. Semoga selalu saling mencukupkan, saling memuliakan, dan saling mengingatkan dalam kebaikan”

Pleburan Barat, 25 Agustus 2015

Yours

Tidak ada komentar:

Posting Komentar